INTERNASIONAL

Wartawan Palestina: Saya Kira Indonesia Itu Seperti Saudi Arabia

"Saya hanya ingin hidup damai. Terutama buat masa depan anak-anak saya dan seluruh anak Palestina."

Heru Hendratmoko

Wartawan Palestina: Saya Kira Indonesia Itu Seperti Saudi Arabia
Senior Journalists Seminar East West Center, konflik Palestina Israel, Khaldoun Barghouti, Bridging Gaps between the US and the Muslim World

Selama 21 hari penuh, mulai 20 Agustus hingga 11 September 2014, lembaga East West Center yang berbasis di Honolulu, Hawaii menyelenggarakan program Senior Journalists Seminar bertema “Bridging Gaps between the US and the Muslim World”. Sebanyak 13 peserta berasal dari AS, Iran, Irak, Pakistan, India, Bangladesh, Palestina, Singapura, Malaysia dan Indonesia diajak berkeliling ke lima kota: Washington DC, Boston, Honolulu, Jakarta, dan Banda Aceh, menemui dan berdiskusi dengan berbagai narasumber. Heru Hendratmoko dari PortalKBR merupakan satu-satunya peserta dari Indonesia. Berikut sebagian laporannya.

“Ini pertama kalinya dalam 30 tahun saya melihat laut,” kata Khaldoun Barghouti, wartawan senior harian Alhayat Aljadida yang terbit di Ramallah, Palestina.  Ia kelihatan gembira sembari menggulung celananya hingga sebatas dengkul.

Sore itu kami sedang berada di pantai Waikiki, Hawaii, Amerika Serikat. Matahari senja mulai bergulir ke barat, meninggalkan guratan cahaya keemasan di atas hamparan ombak yang menggulung di pantai. Para wisatawan menikmai panorama sandyakala itu dalam berbagai ragam kegiatan. Ada yang tetap berseluncur, ada yang berenang, atau sekadar berbaring di pasir putih. Sebagian yang lain sibuk mengabadikan fase perputaran waktu dengan kamera mereka.

Khaldoun kini berusia 40 tahun. Itu berarti ia melihat laut terakhir kali pada usia 10 tahun. Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina telah menelikung geraknya sehingga untuk melihat laut pun butuh waktu begitu lama. “Dari Ramallah ke Gaza sebenarnya cuma butuh waktu 40 menit dengan mengendarai mobil. Tapi akibat blokade Israel, saya harus memutar melalui Jordania dulu.” Pantai terdekat bagi ayah beranak 2 ini ada di wilayah Gaza, yang belakangan digempur habis-habisan oleh militer Israel.

Hidup Damai

Tinggal dan hidup di wilayah konflik tentu tak pernah menjadi keinginannya. Disela-sela acara yang sangat padat mulai pagi hingga sore bahkan malam hari, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, Khaldoun tampaknya selalu meng-update informasi tentang tanah airnya. 

Suatu pagi ia begitu menggebu menunjukkan video tentang bagaimana sebuah bangunan hancur karena dibom tentara Israel. Atau tentang warga Palestina yang krisis air bersih karena tempat penampungan air mereka sengaja dihancurkan. Tapi kali lain ia juga menunjukkan sebuah video tentang proses  pembuatan minyak zaitun. Menurut ia, ibunya jago dalam soal mengolah buah zaitun menjadi minyak yang mahal harganya.

“Saya hanya ingin hidup damai. Terutama buat masa depan anak-anak saya dan seluruh anak Palestina,” ujarnya dalam kesempatan makan malam di sebuah resto India di Newbury Street, Boston. “Juga sebuah negeri yang bebas korupsi.”

Impian Khaldoun tampaknya masih jauh dari kenyataan karena jangankan menjadi negeri merdeka, bahkan untuk menikmati perdamaian saja sulitnya bukan main. Berbagai upaya dialog dan negosiasi yang selama ini dilakukan seolah membentur karang keras. 

Pendudukan Israel atas tanah Palestina yang tak berkesudahan menjadi penyebab utama gagalnya penyelesaian konflik secara damai. Ini ditambah dengan agresifnya serangan militer Israel ke pusat-pusat pertahanan Hamas di jalur Gaza. Tapi berbagai serangan itu pun tak mampu melumpuhkan Hamas, yang mereka tuding sebagai organisasi teroris.

“Orang-orang Palestina sekarang lebih percaya pada perjuangan bersenjata ketimbang negosiasi, karena seluruh negosiasi yang selama ini dilakukan hasilnya tidak ada. Jika ada pemilu sekarang, mungkin 60% rakyat Palestina akan memilih Hamas.” Khaldoun menolak berkomentar apakah ini pilihan baik atau buruk buat Palestina.

Indonesia Konservatif

Toh Khaldoun tetap tak kehilangan harapan tentang tanah Palestina yang merdeka dan damai. Ketika kami menginjak Jakarta, setelah menyelesaikan program di tiga kota Amerika Serikat: Washington DC, Boston, dan Honolulu, Khaldoun tak menyembunyikan wajah riangnya. Beberapa orang Indonesia yang begitu tahu dia berasal dari Palestina, tak segan mengajaknya berbincang, bahkan berfoto bersama.

“Mereka sangat welcome ya,” ujarnya tersenyum. Dalam sebuah kesempatan berdiskusi dengan peserta Senior Journalists Seminar yang lain, Khaldoun mengaku rada terkejut. “Saya sebelumnya mengira Indonesia adalah negara konservatif, seperti Saudi Arabia. Ya, karena Indonesia selalu disebut-sebut sebagai Negara Muslim terbesar di dunia. Ternyata saya keliru.” Pengakuannya yang polos membuat peserta lain tertawa.

Dukungan besar dari mayoritas warga Indonesia kepada Palestina yang ia ketahui kemudian tentu saja membuatnya terharu. “Dukungan yang besar ini seperti membuat dunia berada dalam satu barisan dengan kami.”

Baca juga Jembatan Dialog Barat dengan Dunia Islam 

  • Senior Journalists Seminar East West Center
  • konflik Palestina Israel
  • Khaldoun Barghouti
  • Bridging Gaps between the US and the Muslim World

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • Agus darma6 years ago

    Pengen cari teman dari palestina yang bisa bahasa indonesia.aku cinta palestina