INTERMEZZO

Gajah Edukasi Masyarakat Melalui Atraksi Drama

Gajah Edukasi Masyarakat Melalui Atraksi Drama

KBR, Cisarua - Wati dan kawan-kawannya menyerang sebuah perkampungan penduduk. Dengan tubuh setinggi hampir tiga meter, Wati dan kawan-kawannya mampu menghancurkan ratusan hektar lahan dalam sekejap. Mereka marah rumah dan sumber makanannya hilang akibat ulah masyarakat. Penduduk pun tidak tinggal diam dan menyerang balik dengan senjata tajam. Wati, bagian dari kawanan gajah ini, akhirnya tak berdaya menghadapi perlawanan penduduk.
 
Itulah salah satu adegan dari drama yang dipertunjukkan oleh Taman Safari Indonesia. Drama ini diangkat dari kisah nyata tentang konflik antara manusia dan gajah yang sering terjadi di Sumatera, ketika hutan dibabat dan menghilangkan rumah gajah. Walhi Aceh mencatat terdapat 352 kasus konflik gajah dan manusia dalam kurun waktu 2007 sampai 2013 di Aceh. Sementara di Jambi, menurut data Frankfurt Zoological Society (FZS) ada 38 gajah mati akibat dibunuh atau diracun pestisida sepanjang 2011-2013.

Karena itulah Taman Safari Indonesia merasa perlu untuk memasukkan soal konflik ini ke dalam pertunjukan rutin yang digelar di lembaga konservasi itu. Sebelumnya atraksi para gajah dilakukan dengan melukis, memainkan alat musik, dan menghitung. Namun kini mereka memasukkan unsure pendidikan dengan menjelaskan soal konflik gajah vs manusia. Drama tersebut dimainkan langsung oleh gajah-gajah didampingi para pelatih, yang juga berperan dalam drama.
 
Sosialisasi

Kepala Pengurus dan Pelatih Gajah Kebun Binatang Taman Safari Cisarua, Suparno, mengatakan drama ini bertujuan untuk mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa saat ini keberadaan dan habitat gajah dalam keadaan terancam. “Gajah-gajah tersebut telah dilanggar hak-haknya oleh manusia yang tidak bertanggung jawab. Dalam drama ini diceritakan bagaimana mereka ditembak dan diracuni,” kata Suparno.
 
Drama dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pada pukul 11.30 dan 16.30. Masing-masing drama berdurasi 30 menit yang dibagi menjadi tiga sesi. Drama tersebut menggambarkan  awal mula dari konflik antara manusia dan gajah. Manusia membabat habis hutan yang merupakan habitat gajah. Lalu, gajah menyerang pemukiman penduduk karena kehilangan tempat tinggal dan kekurangan makanan. Drama diakhiri dengan adegan manusia yang berusaha membunuh gajah-gajah tersebut dengan cara diracuni dan ditembak.
 
Suparno mengatakan, antusias pengunjung sangat tinggi untuk menyaksikan drama ini. “Beberapa penonton yang berasal dari kalangan menengah ke bawah lebih suka pertunjukan gajah yang sebelumnya. Namun, kalau Taman Safari lebih banyak pengunjung yang menengah ke atas. Mereka lebih bisa menangkap apa yang kita maksud dan lebih antusias. Lebih banyak suka yang sekarang,” katanya menjelaskan.
 
Gajah aktris

Hanya ada sepuluh gajah betina yang memainkan peran dalam drama tersebut. Lima gajah menjadi tokoh utama, sedangkan lima lainnya adalah aktris cadangan. Titi, Wati, Lintang, Windi, dan Elsi menjadi aktris utama karena mereka dianggap memiliki IQ tertinggi di antara para gajah lain. “Mereka itu lebih cepat menangkap pelajaran untuk adegan drama. Kalau sudah dikasih reward, seperti pisang atau wortel, mereka lebih semangat latihan,” kata Suparno.

Konsep drama ini sebenarnya sudah digagas oleh pihak Taman Safari sejak 2007 namun baru bisa dikembangkan beberapa tahun belakangan. Para pelatih mengaku butuh waktu tiga tahun untuk melatih para gajah untuk main drama. Proses latihan pun tidak mudah karena pada dasarnya gajah adalah binatang yang jahil dan sulit menurut.

“Bentuk jahilnya itu misalnya mereka suka memainkan rambut pelatihnya dengan belalai atau melilitkan tangan pelatih dengan belalai. Mereka juga suka menyemburkan napas yang kencang dengan belalai,” kata Suparno.

Selain dilatih, para gajah tersebut diberikan perawatan yang baik dan lingkungan yang memadai agar sehat dan lebih mudah dilatih nantinya. Tak heran, jumlah gajah di Taman Safari terus bertambah karena perkembangbiakan yang baik. Jumlah gajah semula kurang dari sepuluh dan saat ini berjumlah 51 ekor gajah. Jenis gajah di Taman Safari adalah Gajah Sumatera.

Perawatan

Taman Safari Indonesia dinobatkan sebagai Lembaga konservasi Satwa terbaik di Indonesia oleh Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan tahun 2011. Suparno mengatakan kunci untuk mengonservasi gajah yang sehat adalah pemberian pakan yang baik dan kandang yang sesuai dengan habitatnya. “Kalau dari habitatnya itu, gajah makannya pohon-pohon kecil, ranting-ranting dan buah buah hutan, jadi pakan yang kami sediakan di sinimenyerupai  makanan di habitatnya,” kata Suparno.
 
Suparno menambahkan makanan yang disediakan juga dijaga mutunya, supaya gajah tidak terserang penyakit. Masing-masing gajah  di taman safari setiap harinya diberikan pakan yang porsinya 10% dari berat badan si gajah. “Kalau gajah yang beratnya  3 ton, bisa dikasih pakan seberat  300 kg.  Pakan diberikan 3 kali sehari  dan pada malam hari porsi pakan yang diberikan paling banyak,” kata Suparno.
 
Selain itu, Taman Safari juga memberikan pakan tambahan dan vitamin untuk menjaga daya tahan tubuh gajah. Pemberian pakan tambahan dan vitamin juga disesuaikan dengan berat badan gajah. Pihak Taman Safari juga memperhatikan kebersihan tubuh gajah. Gajah-gajah di sana dimandikan setiap hari dan dipotong kukunya setiap sebulan sekali.
 
Gajah di Taman Safari yang lincah dan tidak bisa diam adalah ciri dari gajah yang sehat. Mereka juga hampir tak pernah menderita penyakit parah. Penyakit yang sering ditemukan hanyalah penyakit ringan seperti diare dan jamur yang langsung ditangani oleh dokter spesialis gajah di Taman Safari Indonesia.
 
Yang terbaik

Ali Risqi A, pakar gajah dari WWF Indonesia mengakui keunggulan Taman Safari dalam merawat gajah. Taman Safari berhasil memenuhi tiga standar utama, yaitu pakan, kandang, dan hubungan yang baik antara pawang dengan gajah.

“Taman Safari masih yang paling baik karena memperhatikan kesejahteraan satwanya. Semua pawang gajah pasti paham bagaimana gajahnya. Pada hakikatnya, tidak ada pengelola yang berniat menelantarkan gajahnya. Perbedaannya terletak pada cara merawatnya,” kata Ali menjelaskan.

Taman Safari memiliki kandang yang berbeda, baik itu untuk gajah yang sedang kawin, maupun kandang khusus untuk gajah yang dikarantina karena sakit. Menurut Ali, gajah tak perlu kandang yang mewah selama kebutuhan dasar seperti ketersediaan pakan yang cukup dan kandang yang layak sudah terpenuhi. Selain itu, ia juga menegaskan komunikasi yang baik antara gajah dan pawangnya juga menjadi kunci agar hewan tidak mudah sakit atau pun stress yang dapat mengakibatkan kematian

Gajah di Taman Safari beruntung, jika dibandingkan rekan-rekan gajah lain yang juga hidup di kebun binatang atau lembaga konservasi. Di Kebun Binatang Surabaya, misalnya, dua gajah mati di Kebun Binatang Surabaya (KBS) dari tahun 2011 dan 2012 karena penanganan yang tidak tepat. Kematian gajah juga terjadi di Kebun Binatang  Serulingmas, Jawa Tengah pada tahun 2012 dan 2010.
 
Usai pertunjukan, para gajah kembali bermain dengan para pengunjung. Wati sang gajah aktris utama memainkan belalainya ke orang-orang yang ada di sekitarnya. Setelah drama usai, penonton diharapkan punya pemahaman baru soal konflik yang terjadi antara manusia dengan gajah, dan makin tergerak untuk melindungi gajah yang ada di alam liar. Supaya mereka juga bisa bahagia seperti Wati di Taman Safari.

  • gajah
  • edukasi
  • taman safari

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!