KBR, Jakarta - Di tengah kerusuhan pasca Pemilu 2019, Indonesia memberlakukan pembatasan layanan messenger dan media sosial (medsos) seperti WhatsApp, Facebook, Twitter dan Instagram.
Menkominfo Rudiantara menyebut, kebijakan ini diambil demi meredam persebaran konten-konten provokatif.
“Viral-nya
(konten provokatif) itu selalu di messenger
system, di WhatsApp grup dan sebagainya. Fitur yang kami prioritaskan untuk
sementara dinonaktifkan yaitu video, foto, atau gambar,” ujar Rudiantara, Rabu (22/5/2019).
Sampai Kamis (23/5/2019), Rudiantara belum memberi kepastian kapan pembatasan itu akan dicabut.
Negara: Blokir Internet Demi Kepentingan Publik
Bukan hanya di Indonesia, pembatasan medsos dan pemadaman internet (internet shutdown) sering pula terjadi di negara-negara lain.
Di Zimbabwe, misalnya. Awal Januari 2019 sekelompok warga Zimbabwe berdemonstrasi menolak kenaikan harga minyak. Tak lama setelah aksi, pemerintahnya langsung memblokir layanan medsos.
Hal serupa juga terjadi di Sri Lanka. Tak lama setelah serangan Bom Paskah, pemerintah Sri Lanka memblokir layanan WhatsApp dan Facebook di negaranya.
Menurut data Access Now, "kasus" pembatasan medsos, pemadaman internet atau internet shutdown memang kerap terjadi di berbagai belahan dunia. Frekuensinya juga meningkat drastis dalam dua tahun belakangan.
Sepanjang tahun 2016 ada 75 kasus pembatasan medsos atau pemadaman internet di seluruh dunia. Tapi di tahun 2018 jumlahnya naik hingga 188 kasus per tahun.
Internet shutdown paling sering dilakukan negara-negara di kawasan Asia (310 kali), diikuti oleh Afrika (46 kali), Eropa (12 kali) dan Amerika Selatan (3 kali).
AN mencatat, alasan yang paling sering dipakai negara untuk memberlakukan internet shutdown adalah menjaga keamanan publik, menyetop persebaran rumor, konten ilegal, serta menjaga keamanan nasional.
Ada juga sejumlah negara yang membatasi layanan internet demi mencegah siswa menyontek saat ujian.
Aktivis: Blokir Internet Merugikan dan Melanggar HAM
Bagi banyak negara, kebijakan pembatasan medsos atau internet shutdown itu baik, demi melindungi kepentingan publik.
Tapi kalangan aktivis punya pandangan berbeda. Bagi mereka kebijakan itu merugikan, menyalahi kebebasan berpendapat, serta melanggar hak asasi warga untuk memperoleh informasi.
Access Now, organisasi internasional di bidang pembelaan HAM dan hak-hak digital, menilai pembatasan medsos dan internet bisa merugikan banyak kalangan.
Mereka yang berpotensi dirugikan adalah pekerja, pebisnis, jurnalis, aktivis, kelompok-kelompok massa dalam aksi demonstrasi, serta masyarakat umum yang membutuhkan layanan darurat.
Penilaian serupa juga datang dari Internet Society,
organisasi di bidang penguatan jaringan internet global. Dalam situs
resminya mereka mengatakan:
“Kami mengerti
bahwa pemerintah kadang dihadapkan pada situasi sulit yang bisa mengancam
ketertiban umum dan keamanan nasional. Tapi kami tidak percaya bahwa mematikan akses
komunikasi (online) untuk seluruh atau sebagian wilayah negara adalah tindakan yang
tepat. Kami mendorong pemerintah mencari cara alternatif untuk mengatasi
masalah tersebut,” tulis mereka.
Internet Society menyebut, pendirian mereka ini sejalan dengan keputusan Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang berbunyi:
“(PBB) Mengecam langkah-langkah tegas yang dengan sengaja mencegah atau mengganggu akses atau penyebaran informasi online”.
Menurut PBB, pembatasan medsos atau internet shutdown adalah pelanggaran hukum HAM internasional.
Editor: Agus Luqman