INDONESIA

Filep Karma :

"Amnesti Internasional menganggapnya sebagai tahanan hati nurani, setara dengan Aung San Suu Kyi di Burma."

Filep Karma :
Indonesia, Papua, Filep Karma, Bendera Bintang Kejora, Rebecca Henschke

Pekan lalu menandai 10 tahun pemimpin gerakan kemerdekaan Papua Filep Karma  berada di balik jeruji. Dia dipenjara karena mengibarkan bendera Bintang Kejora di lapangan Abepura pada 1 Desember 2004.

Amnesti Internasional menganggapnya sebagai tahanan hati nurani, setara dengan Aung San Suu Kyi di Burma.

Beginilah suasana aksi demontrasi ratusan mahasiswa Papua yang dipimpin Filep Karma di lapangan Abepura pada 2004.

Mereka lalu mengibarkan bendera Bintang Kejora yang merupakan simbol kemerdekaan Papua Barat. Sementara polisi militer menonton aksi pengibaran bendera yang dilarang itu.

Filep Karma kemudian dihukum penjara selama 15 tahun dengan tuduhan pemberontakan.

“Saya mengetahui Indonesia ini negara demokratis, dimana ada aturan bagaimana berdemo. Tapi berdemo itu bukan minta izin tapi kami membuat surat pemberitahuan kepada pihak yang berwajib paling lambat 3 hari sebelum kegiatan. Nah ini-pun saya sudah penuhi. Ini negara demokrasi yang menjamin bahwa negara menjamin kebebasan seseorang atau sekelompok orang dalam menyampaikan aspirasi lisan maupun tertulis. Jadi ini negara atau organisasi teroris yang menguasai negara ini?

Dalam sebuah wawancara langka yang dilakukan tahun 2010 tanpa seizin petugas, Karma mengklaim para sipir menganiayanya setiap minggu.

“Ya saya sudah beberapa kali dipukul oleh para petugas penjara. Ditinju, ditendang, diseret. Dan yang lebih menyakitkan kami secara mental juga kami dianiaya. Jadi pernah dalam sebuah apel seorang perwira keamanan mengatakan, 'kalian tahanan narapidana semua hak kalian dicabut termasuk hak asasi manusia. Hak kalian hanya hidup dan makan dan ikuti apa yang kami atur'. Terus dia sampai mengatakan bahwa hidup kalian sepenuhnya ada di tangan saya.”

Presiden baru Indonesia Joko Widodo sangat populer di kalangan masyarakat Papua dan berencana mengunjungi provinsi Papua dan Papua Barat akhir bulan ini.

Jokowi mengatakan salah satu prioritas utamanya adalah mengurangi kerugian ekonomi warga setempat – dan ini diharapkan akan mengurangi keinginan rakyat Papua untuk merdeka.

Tapi menunjukkan simbol kemerdekaan Papua, termasuk bendera, tetap melanggar hukum.

Filep Karma mengatakan ia pernah ditawari pengampunan semasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi ada syaratnya, yaitu tidak melanjutkan perjuangan kemerdekaannya.

Dan ini adalah sesuatu yang tidak akan pernah dia terima.

“Karena grasi pertama karena merasa bersalah,  mengaku salah lalu minta ampun dan minta dipulihkan. No way, saya tidak salah. Dan hal yang saya tuntut adalah hak kebenaran. Itu hak kami sebagai orang Papua. Kami tidak merampas pulau Madura, atau sebagian tanah di Ujung Kulon, atau pulau Sumatera untuk kami dirikan Negara Papua, tidak. Yang kami bicara yang kami aspirasikan adalah hak kami atas tanah kami. Kami dilahirkan disitu oleh nenek moyang kami, itulah hak kami atas tanah itu. Secara ras kita berbeda secara budaya kita berbeda. Dan saya merasakan hal itu selama saya mengikuti pendidikan di pulau Jawa. Sering kami dipanggil kete, monyet, dan itu sangat sangat menyakitkan hati kami. Jadi buat apa kami hidup di negara ini kalau martabat kami sebagai manusia direndahkan diperlakukan dengan tidak manusiawi.”

Papua kaya dengan sumber daya alam dan di sana ada pertambangan emas terbesar di dunia yang dimiliki perusahaan Amerika Serikat, Freeport.

Namun kondisi Papua masih jauh tertinggal dibandingkan provinsi lain di Indonesia.

Filep Karma menolak memberikan detail soal kekuatan gerakan separatis Papua.

Tapi analis dari International Crisis Group yang berada di Brussel menyatakan kekuatannya tidak sebanding dengan pasukan keamanan Indonesia.

Karma punya prediksi mengerikan tentang rakyatnya.

“Kalau tidak ada perubahan kebijakan terhadap rakyat Papua, maaf saya bikin estimasi secara kasar, mungkin 2020 sudah habis etnis Papua. Karena pola yang digunakan pemerintah Indonesia adalah secara pelan tapi pasti memusnahkan etnis kami. Rencana  lewat makanan, pembunuhan perampasan hak perampasan tanah adat semua cara-cara yang pernah diterapkan oleh pemerintah-pemerintah lain di dunia. Rakyat Indian yang merasakan, itulah yang sekarang saya lihat dipraktekkan oleh pemerintah Indonesia. Dan Ali Murtopo pernah mengatakan bawah yang kami butuhkan bukan rakyat Papua, yang kami butuhkan tanahnya. Lautan teduh atau cari pulau di lautan teduh, atau kalau perlu bikin Papua Merdeka di bulan, tapi yang Indonesia butuhkan adalah tanah. Karena tanah kami sangat kaya sehingga itu yang direbut bukan orang Papua-nya. Jadi saya memperhitungkan mungkin dalam tahun 2020 mungkin orang Papua sudah habis, akan dibunuh dengan cara kekerasan maupun cara halus. Itu yang saya lihat."

"Jadi memang penting orang Papua harus bangkit segera harus kita rebut hak kita. Kita harus berjuang untuk merdeka sebelum kami musnah.”

Pemimpin pro-kemerdekaan Papua yang paling populer, Filep Karma. Pekan ini menandai 10 tahun dia berada di balik jeruji besi dengan tuduhan pemberontakan. Amnesti Internasional menganggapnya  sebagai tahanan hati nurani,  setara dengan Aung San Suu Kyi di Burma.

Pekan ini, dia meluncurkan sebuah buku dari penjara berjudul Seakan Kirorang Setengah Binatang, Rasialisme Indonesia di Tanah Papua.

  • Indonesia
  • Papua
  • Filep Karma
  • Bendera Bintang Kejora
  • Rebecca Henschke

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!