ASIACALLING

Suki Kim, Hidup Dalam Penyamaran di Korea Utara

Suki Kim (Foto: Nicole Curby)

Suki Kim adalah satu-satunya jurnalis yang berhasil menyamar di benteng totalitarianisme, Korea Utara, salah satu negara yang paling represif dan rahasia di dunia.

Bukunya, ‘Without You There Is No Us’ adalah kisahnya hidupnya di antara anak-anak kelompok elit Korea Utara. Ini adalah gambaran seperti apa hidup di bawah kediktatoran yang sangat dikontrol ketat, terisolasi dan brutal.

Koresponden Asia Calling KBR, Nicole Curby, berbincang dengan Suki Kim di Ubud Writers and Readers Festival di Bali untuk mendengar kisahnya lebih lengkap.

Pada 2011 Suki Kim mempertaruhkan hidupnya untuk hidup di Korea Utara. Dia mengajar bahasa Inggris selama enam bulan di Universitas Teknologi Pyongyang yang didirikan oleh misionaris Kristen.

Para misionaris berharap bisa menyebarkan ajaran agama mereka. Namun mereka tidak diizinkan untuk mengucapkan sepatah kata pun tentang hal itu.

Dan Suki Kim harus hidup dengan penuh kerahasiaan. Dia adalah seorang jurnalis yang menyamar sebagai guru, yang menyamar sebagai seorang misionaris.

Suki Kim lahir dan besar di Korea Selatan. Ia lantas tinggal di Amerika sejak remaja.

Ia merasa ada hubungan khusus antara dia dengan Korea Utara, yang disebutnya sebagai 'dunia yang mengganggu dan menarik'. Ini mendorong, dirinya untuk meneliti dan menulis tentang negara itu selama lebih dari satu dekade.

“Anggota keluarga saya hilang saat Perang Korea, dibawa ke Korea Utara dari Korea Selatan. Meski pemisahan keluarga ini bukan hal yang luar biasa bagi orang Korea, ini mempengaruhi jutaan orang. Dan saya harus memahami kehilangan yang ditimbulkan bagi seluruh generasi,” tutur Suki.

“Korea sudah terpisah selama 70 tahun. Apa yang terjadi pada mereka dan mengapa Korea Utara melakukannya. Jadi pasti ada kerugian pribadi yang mendorong saya dalam upaya untuk memahami Korea Utara.”

Sejak Korea Utara dan Selatan berpisah pada 1945, Korea Selatan telah berkembang menjadi sebuah masyarakat modern dan demokratis.

Sementara di sisi lain, Korea Utara menutup diri dari dunia di bawah kediktatoran dinasti Kim.

Saat ini negara itu diperintah oleh Kim yang ketiga; Kim Jong-un, 32 tahun, yang mengambil alih kekuasaan dari ayahnya pada 2011.

Selama beberapa dekade terakhir, jutaan warga Korea Utara meninggal karena kelaparan ekstrim dan juga banyak yang dikirim ke penjara atau gulag, karena dianggap menentang rezim.

red

Untuk bisa masuk ke Korea Utara dan memahami kehidupan di balik dinding tertutup itu sangat sulit dan berisiko. Persiapan misi dilakukan bertahun-tahun dan saat berada di sana, kerahasiaan menjadi hal yang sangat penting.

“Saya menyimpan semuanya di dalam USB dan menghapus semua file dari laptop setiap saat. Lalu menyimpan salinannya di kartu memori dan menyimpannya di tempat rahasia. Ini semua harus dilakukan karena Anda diawasi 24 jam. Jika catatan-catatan itu mereka temukan, kita akan tahu apa yang akan terjadi. Itu adalah kejahatan terhadap negara,” kisahnya.

Q. Anda takut ketika memikirkan apa yang bakal terjadi?

“Saya bisa keluar dari sana hidup-hidup adalah sebuah keajaiban. Sudah ada jurnalis yang masuk lewat paket wisata, tapi benar-benar hidup bersama orang Korea Utara dan menyimpan secara rahasia catatan sebanyak 400 halaman, itu belum pernah terjadi. Karena itu mustahil. Saya bersyukur bisa keluar tapi memang setiap detiknya di sana sangat menakutkan,” kata Suki.

Pembatasan ekstrim terhadap kebebasan, kemerdekaan dan pemikiran, selain kurangnya makanan atau barang mewah, adalah sesuatu yang dialami semua orang di Korea Utara, kata Suki.

Dan tidak hanya orang luar atau masyarakat kelas bawah, bahkan kaum elit tempat Suki tinggal juga diawasi.

Hidup di Korea Utara, katanya, berkisar pada propaganda yang intens dan ideologi kultus.

“Saya berupaya memahami negara mereka. Jika Anda punya ideologi kultus dan punya pasukan terbesar di dunia dan kediktatoran militer, Anda pada dasarnya mengendalikan orang-orang dari semua sudut. Ini adalah sistem yang dibangun di atas rasa takut,” tutur Suki.

“Dan Anda mengontrol gerakan fisik dan pengetahuan mereka dengan menyensor setiap kemungkinan informasi yang masuk. Secara fisik menghapus hak mereka untuk melakukan perjalanan di dalam atau luar negeri. Ini mencakup semua aspek.”

Q. Di sana, hubungan yang akrab juga diawasi ....

“Saya tidak mampu mengamati hubungan mereka dengan keluarga meski mereka menulis surat kepada mereka, meski tidak pernah bisa dikirim. Tapi apa yang saya amati adalah ini adalah persahabatan yang saling mengawasi. Mereka ke mana-mana bersama dan tampak akrab,” jelas Suki. 

“Tapi dengan hidup di sana dan mengamati mereka dari dekat, saya menyadari kalau mereka saling ditugaskan. Dan mereka mengadakan pertemuan mingguan, dimana mereka saling melaporkan satu sama lain. Jadi batas-batas itu secara harfiah dirancang, dipetakan dan diawasi oleh rezim mereka. Mereka memanipulasi dan benar-benar mencoba menghapus kemanusiaan karena mereka adalah hak asasi manusia.”

Q. Apakah ada dilema etika ketika menulis buku seperti ini?

“Tidak pernah ada keraguan kalau saya harus menulis buku ini untuk dunia. Karena rakyat di sana terjebak dan suara mereka tidak pernah didengar selama 70 tahun. Analisis yang sebenarnya tentang negara ini harus disebarluaskan. Menurut saya dilema etikanya adalah tentang peran saya sebagai manusia dan hidup bersama mereka,” aku Suki. 

“Karena saya mencintai mereka dan saya ingin menceritakan semuanya. Apa yang bisa pengetahuan lakukan terhadap nasib mereka. Apa yang terjadi bila saya ungkap kebenaran tentang pemimpin besar mereka, yang adalah diktator terburuk di dunia dan semua yang mereka pelajari adalah kebohongan. Apa jenis hukuman atau penganiayaan yang akan mereka alami. Atau kehidupan yang tidak bahagia seperti apa yang mereka rasakan karena realitas mereka semua palsu.”

“Saya merasa lebih kearah sana. Karena jika saya tidak bisa memberitahu mereka kebenarannya, apa yang saya lakukan di sana?”

 

  • Nicole Curby
  • Suki Kim
  • Festival Penulis Ubud
  • Korea Utara

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!