ASIACALLING

Film Asia Raih Penghargaan di Festival Film Stockholm

Sutradara Seong Hun Kim. (Foto: Ric Wasserman)



Film-film asal Tiongkok meraih penghargaan di Festival Film Internasional  Stockholm tahun ini.

Festival ke-27 tahun ini mengambil tema: identitas budaya, agama dan geografis. 

Selain memenangkan penghargaan, film-film Asia tampil mengesankan - mulai dari thriller yang menegangkan, drama tentang hubungan, hingga realisme sosial yang menggigit.

Sebuah terowongan runtuh menimpa seorang supir bernama Soo. Akibatnya dia terperangkap di bawah bongkahan batu-batu besar. 

Drama menegangkan garapan Seong Hun Kim ini membandingkan perjuangan Soo untuk bertahan hidup setelah berminggu-minggu terperangkap dan keinginan pemerintah Korea untuk menghentikan pencarian. 

Alasan pemerintah karena biaya yang dikeluarkan terlalu besar untuk menyelamatkan nyawa satu orang.

Film ini berdasarkan sebuah novel karya So Jae-Won. Menurut sutradara Seong Hun-Kim, meski ini sebuah film bencana, dia menyelipkan humor di dalamnya.

“Jika Anda harus menelan obat yang pahit, seperti film bencana, lebih baik memasukkannya ke dalam kapsul agar lebih mudah ditelan. Itu sebabnya saya memasukkan humor,” jelas Seong.

Seong menggunakan satir dan kritik terbuka untuk menggambarkan sikap dingin dan perhitungan para pejabat Korea. Sementara itu jurnalis menunggu seperti hiu di luar terowongan.

Selama proses penyelamatan, sebuah ikatan terbangun lewat ponsel yang sekarat antara korban dan kepala teknisi, yang mempertaruhkan karirnya demi menyelamatkan korban.

“Saya merefleksikan harapan saya pada penyelamat. Simpati penyelamat pada korban yang terperangkap, meski beresiko, bisa menjadi metafora untuk harapan dan perubahan dalam masyarakat,” kata Seong.

Sementara itu, sutradara asal India Anu Menon dan karya barunya ‘Waiting’ atau ‘Menunggu’ menghadirkan kisah tentang harapan dan pengabdian. 

Tokoh Shiv, yang diperankan Naseruddin Shah, menghabiskan hari-hari di rumah sakit menemani istrinya yang sudah koma berbulan-bulan. Meski begitu Shiv terus berbicara dengan sang istri dan tetap berharap.

Shiv berteman dengan Tara, yang suaminya juga dalam keadaan koma. Keduanya berbagi kegelisahan dan mimpi mereka.

red

Sutradara Anu Menon dulunya berkerja di bidang iklan dan dia menyadari harus mendatangkan identitas baru - sebagai pencerita.

“Saya mengalami momen pencerahan saat menyadari saya tidak bisa melakukan ini selamanya. Tapi saya tidak tahu apakah bisa menjadi pekerja film, jadi saya bergabung dengan sekolah film di London. Ini memungkinkan saya mendapatkan ruang dan menemukan identitas saya sebagai pembuat film, sebagai pribadi saya hanya perlu mengasah keterampilan saya,” tutur Anu Menon.

Menon jelas memilikinya. ‘Waiting’ memaksa kita tanpa berkedip untuk merenungkan siapa kita dan benang merah apa yang mengikat kita bersama dalam kesedihan ...

Pemenang tak terduga tapi layak mendapatkan kuda perunggu untuk kategori sutradara dan naskah terbaik adalah Jonny Ma untuk filmnya, Old Stone.

Dalam film debutnya ini, cerita provokatif Ma menelanjangi sistem asuransi gaya Kafka dan tanggung jawab pidana di Tiongkok.

Film itu bercerita tentang sopir taksi bernama Shi, yang terjebak dalam mimpi buruk ekonomi setelah menabrak pengendara sepeda motor.

Dia kemudian membawa korban ke rumah sakit. Tapi ini dianggap sebagai kesalahan besar oleh teman, pengacara, dan istrinya.

Mereka mengatakan jika Anda menabrak seseorang dengan mobil di Tiongkok, yang harus Anda lakukan adalah kembali ke korban dan menabraknya lagi sampai mati. ‘

Jika mereka mati, Anda hanya akan membayar denda dalam jumlah kecil. Jika korban selamat, Anda harus membayar biaya rumah sakit yang sangat besar dan biaya rehabilitasi selama bertahun-tahun.

Old Stone adalah kritik kejam dan menyakitkan terhadap realitas di Tiongkok saat ini.

Kritik serupa juga hadir dalam drama imigrasi paksa yang dibuat Yao Tian, berjudul 500M800M.

Lebih dari satu juta orang harus direlokasi untuk pembangunan tiga proyek bendungan ngarai terbesar di dunia ini. 

red

Cerita dalam film Yao Tian berpusat pada keluarga perempuan hamil benama Hongfen. Ketika tinggal di daerah ketinggian 500 meter di atas permukaan laut, dia diizinkan punya dua anak.

Tapi akibat proyek itu dia dipaksa pindah ke daerah yang lebih rendah, yang punya kebijakan berbeda, hanya boleh punya satu anak.

Ini menyebabkan muncul dilema sosial dan ekonomi.

“Saya lahir di tahun 80an, selama periode kebijakan keluarga berencana yang mempengaruhi saya, keluarga dan teman-teman saya. Beberapa keluarga bangkrut atau menjadi gelandangan ketika mencoba untuk punya anak kedua. Ini sangat menyentuh saya,” jelas Yao Tian.

Sutradara Yao Tian mengenang kebijakan satu anak yang berlaku selama 35 tahun dan pada Januari lalu akhirnya dicabut. Kebijakan ini mengakibatkan ada sekitar 400 juta bayi yang tidak dilahirkan.

Ini alasannya film ini harus dibuat.

“Lewat film ini saya ingin mengungkapkan hilangnya satu generasi manusia yang menjadi akar dunia. Tapi selain itu kita kehilangan identitas lewat kebijakan ini,” kata Yao Tian.

Sekarang Yao Tian harus berjuang dalam pertempurannya sendiri yaitu mencari cara agar filmnya bisa diputar di Tiongkok karena film ini menurutnya harus ditonton dan didiskusikan.

 

  • Ric Wasserman
  • Festival Film Stockholm
  • Swedia
  • Film Asia

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!