HEADLINE

Kehidupan Etnis Hazara di Indonesia: Tidak Ada Kepastian

"Banyak diantara mereka yang terdampar di Indonesia dan ditangkap setelah mencoba naik perahu ke Australia secara ilegal. "

Naeem Sahoutara dan Jarni Blakkarly

Syed Zakriya. (Foto: Naeem Sahoutara)
Syed Zakriya. (Foto: Naeem Sahoutara)

Dalam seri kedua tentang komunitas Hazara kali ini, kita akan melihat bagaimana kehidupan mereka yang terlunta-lunta pasca meninggalkan Pakistan.

Banyak diantara mereka yang terdampar di Indonesia dan ditangkap setelah mencoba naik perahu ke Australia secara ilegal.

Koresponden Asia Calling KBR, Naeem Sahoutara datang ke Indonesia untuk mencari tahu kehidupan seperti apa yang dialami ribuan pengungsi itu.

Dia menyusun kisahnya dari Jakarta.

Di Pakistan saya bertemu keluarga Sadiq Ali, pemuda Hazara yang meninggalkan Quetta karena khawatir dengan keselamatannya. Kini saya akan mengikuti perjalanannya ke Indonesia.

Tapi saya mengambil jalur yang berbeda. Saya tiba di Jakarta lewat Dubai.

Sebagian besar orang Hazara dari Pakistan memulai perjalanan menuju Thailand menggunakan dokumen palsu. Dari situ mereka akan diselundupkan melalui Malaysia dan hutan-hutan Indonesia.

Pengungsi Hazara bernama Syed Zakariya mengatakan itu perjalanan yang sangat mengerikan dan tidak pernah akan dia lupakan.

“Itu perjalanan yang berbahaya. Kami melewati perbatasan dan melihat pasukan penjaga bersenjata. Kami merasa mereka bisa saja langsung menembak dan membunuh kami karena melintasi perbatasan. Dari Thailand kami naik perahu kayu yang bisa saja pecah di tengah laut dan kami bisa mati menuju Malaysia. Para penyelundup menyakinkan kalau kami akan tiba di Australia. Mereka hanya memikirkan uang,” kisah Syed Zakriya.

Tapi seperti orang Hazara lain yang mencoba menempuh perjalanan berbahaya itu, Syed tertangkap di tengah laut.

Karena Australia merazia kedatangan perahu-perahu ilegal itu, lebih dari 10 ribu pengungsi terdampar di Indonesia. Sebagian besar adalah etnis Hazara dari Pakistan dan Afghanistan.

Sadiq Ali, yang keluarganya saya temui di Pakistan, meninggalkan negara itu pada 2013.

(Baca juga: Tidak Punya Masa Depan, Orang Hazara Tinggalkan Kampung Halaman)

Kini dia tinggal di sebuah tempat penampungan UNHCR di Surabaya setelah ditangkap di lautan dalam perjalanan menuju Australia. Sejak itu, hidupnya di Indonesia penuh ketidakpastian.

“Saya sudah berada di sini dua tahun lima bulan. Kami tidak punya ijin kerja dan tidak boleh pindah ke kota lain. Saya harus melaporkan kehadiran saya dua kali sehari jam 10 pagi dan 10 malam. Itu karena kami imigran,” tutur Sadiq Ali.

Pengungsi Hazara lainnya Syed Zakariya saat ini tinggal di Jakarta.

Dia tinggal di sebuah kamar kecil di sebuah gang. Di kamarnya hanya ada tempat tidur kecil, toilet yang kotor dan sebuah lemari es.

Dia mengaku hidup di Indonesia sebagai imigran tidaklah mudah karena warga lokal bersikap diskriminatif padanya.

“Warga mengejek dan memukuli kami karena kami imigran. Mereka tidak suka pada kami. Itu sebabnya saya pindah ke mari. Tapi yang bisa kami lakukan hanyalah makan dan tidur sembari menunggu,” kata Syed Zakriya.

Setelah tiga bulan berada di tahanan, satu-satunya kebebasan yang dimilikinya hanyalah untuk bertemu teman-temannya sesama orang Hazara.

Saat bertemu mereka bercerita soal kenangan buruk selama perjalanan berbahaya itu dan berusaha tetap menyimpan harapan akan masa depan.

Bahkan jika orang Hazara mendapat status pengungsi, mereka bisa menunggu bertahun-tahun di Indonesia sebelum diterima negara yang dituju.

Dan ini bukanlah hal yang mudah kata Syed. “Kami tidak bisa beraktivitas seperti bekerja atau bersekolah.”

Sebagai imigran ilegal di Indonesia, orang Hazara kadang harus menunggu sangat lama dan tidak tahu masa depan seperti apa yang bakal mereka hadapi. 

Ini berat kata Sadiq Ali. Meski begitu kembali ke Pakistan bukanlah pilihan baginya.

“Saya tidak tahu kemana UNHCR akan mengirim kami, tapi akan pergi kemanapun mereka mengirim kami. Saya tidak akan pernah kembali ke Pakistan karena situasinya tidak aman bagi kami. Jika kondisi di sana baik-baik saja, saya tidak akan pernah ada di sini. Saat ini saya hanya ingin pergi ke Australia,” tekad Syed 

Kelompok militer yang punya hubungan dengan Taliban menganggap minoritas Syiah adalah kelompok kafir.

Orang Hazara di Pakistan kerap menjadi sasaran serangan dan banyak dari minoritas Syiah ini takut akan keselamatan mereka.

Meski Australia telah mengubah kebijakannya soal kedatangan pengungsi yang tiba terus-menerus dengan perahu, antara 2007 hingga 2013 ada periode di mana sekitar 50 ribu pencari suaka berhasil tiba di Australia.

Dalam bagian ketiga serial Asia Calling ini, Jarni Blakkarly akan bertemu dengan beberapa orang Hazara yang berhasil tiba di Australia dan mencoba untuk membangun kembali kehidupan mereka.

 

  • Naeem Sahoutara
  • Komunitas Hazara
  • Pengungsi Hazara

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!