INDONESIA

Bekas Pasien Kusta di Korea Selatan Menuntut Pemerintah

Bekas Pasien Kusta di Korea Selatan Menuntut Pemerintah

Penyakit kusta atau lepra sudah tidak ada di sebagian besar wilayah dunia.

Tetapi bagi mereka yang pernah menderita penyakit yang berbahaya ini, luka permanen dan stigma akan terus menghantui mereka.

Di Korea Selatan, ratusan bekas pasien kusta mengaku banyak penderitaan mereka berasal dari pemerintah sendiri. Untuk itu mereka berharap mendapatkan ganti rugi sebelum terlambat.

Dua belas perempuan lanjut usia, yang berusia 70 hingga 80 an tahun, duduk di lantai. Mereka sedang bermain dadu. Ini cara mereka menghabiskan waktu di sini, di komunitas Pertanian Geumo.

Sebagian besar dari mereka bermata cekung, dan punya bekas luka di lengan dan kaki. Ini merupakan tanda abadi dari pertempuran mereka melawan kusta. Berkat antibiotik, semua orang yang tinggal di Pertanian Geumo ini sudah lama sembuh dari penyakit itu.
 
Park Tae-yeon, yang berusia 86 tahun, didiagnosa terkena kusta saat dia masih kecil. Dia kemudian dirawat di sebuah komunitas medis di sebuah pulau di lepas pantai selatan.

Dia lalu menikah dengan sesama pasien di sana yang kini sudah meninggal. Dan sekarang, seperti banyak korban kusta lainnya, dia tinggal sendirian.

“Kami tidak punya keluarga di sini. Kami sangat kesepian. Tidak satu pun dari kami yang punya anak untuk membantu mengurus kami. Kehidupan kami sangat sulit.”

Tapi Park mengatakan tidak punya keluarga bukanlah pilihannya atau sang suami.

“Saat itu musim semi tahun 1952. Saya masih sangat muda dan sedang hamil 3 bulan. Ketika rumah sakit tahu soal itu, mereka memaksa saya untuk melakukan aborsi. Kami diperlakukan tidak manuasiawi.”
 
Park merupakan satu dari 500 korban kusta yang menggugat pemerintah Korea Selatan.

Pemerintah sudah memberi mereka sejumlah uang kompensasi. Tapi bekas pasien seperti Sohn Young-dal mengatakan itu tidak bisa mengganti pelanggaran HAM yang telah mereka alami.

“Fakta kalau pemerintah melawan kami di pengadilan menunjukkan kalau mereka masih memperlakukan kami seperti binatang. Menurut saya, mereka hanya menunggu kami mati.”

Dia mengatakan para pria yang tinggal di fasilitas medis di pulau selatan itu disteril secara paksa jika menikah.
 
Sistem isolasi paksa dan sterilisasi pasien kusta di Korea Selatan merupakan warisan pemerintahan kolonial Jepang di awal abad ke-20, ketika kebijakan itu dilaksanakan pertama kali.
 
Tapi Jo Yeong-seon, seorang pengacara yang mewakili beberapa penggugat, mengatakan prosedur ini terus dipraktekkan bahkan setelah dinyatakan ilegal puluhan tahun lalu.

“Kebijakan seperti aborsi paksa dan sterilisasi terus dilakukan sampai akhir 1980-an dan bahkan tahun 90-an.”
 
Jo mengatakan bagi pemerintah ini adalah masalah anggaran.

“Pemerintah tahu ada obat untuk penyakit kusta tahun 1950-an dan meski menular, kusta tidak diturunkan ke anak-anak. Pemerintah tidak mau para pasien ini punya anak karena mereka tinggal di fasilitas yang dikelola pemerintah. Jika para pasien punya anak maka pemerintah harus merawat mereka juga.”
 
Jo menambahkan gugatan hanya bisa berjalan sejauh ini.
 
Meski pemerintah bisa memberikan kompensasi lebih dari Rp400 juta pada setiap penggugat, tapi mereka tidak bisa mengganti semua trauma emosional yang dialami para pasien, katanya.
 
Bagi warga Pertanian Geumo yang berusia 76 tahun, Kim Ki-Pyeong, stigma kusta itu membuat dia tidak bisa berkumpul lagi bersama keluarganya meski setelah dia sembuh.
 
“Saya sangat ingin pulang dan berjumpa dengan orang tua saya. Saya meninggalkan fasilitas ini, tapi orang-orang di kampung saya mencegah saya untuk pulang.”
 
Mata Kim berkaca-kaca dan dia membenamkan kepalanya dalam kedua tangannya... ingatan dijauhi oleh masyarakat dan keluarganya jelas masih sangat menyakitkan.
 
Kementerian Kesehatan Korea Selatan menolak untuk menjawab pertanyaan tentang gugatan itu.
 
Seorang bekas Perdana Menteri yang saya kontak lewat surat elektronik mengatakan dia pernah menawarkan permintaan maaf resmi kepada para bekas pasien kusta pada 2009. Tapi dia mengaku terkejut dengan langkah pemerintah saat ini yang melawan para korban di pengadilan.

Sementara itu, bagi warga Pertanian Geumo seperti Park Tae-yeon, hidup terus berjalan.

Park mengundang saya ke apartemen kecilnya. Dia menunjukkan foto liburannya bersama keluarga saudaranya. Mereka adalah kerabat satu-satunya yang sampai sekarang masih berhubungan dengannya. Tapi, dia mengaku masih ditolak oleh keluarganya sendiri.

“Kami sangat berharap pemerintah memberi ganti rugi atas perbuatan mereka kepada kami. Dan kami berharap itu segera terwujud. Bagaimana jika kami semua mati? Maka semua yang sudah kami lalui ini akan sia-sia.”

  • Korea
  • kusta
  • gugatan hukum
  • Pertanian Geumo
  • Jason Strother

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!