INDONESIA

Menunggu Terbentuknya Dewan Pers ASEAN

"Kavi Chongkittavorn ikut terlibat di dalam pembahasannya."

Citra Prastuti

Menunggu Terbentuknya Dewan Pers ASEAN
ASEAN, media, demokrasi, Kavi Chongkittavorn, Citra Prastuti

Dewan Pers di kawasan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN rencananya terbentuk tahun ini.

Kavi Chongkittavorn ikut terlibat di dalam pembahasannya. Dia adalah bekas ketua Aliansi Pers Asia Tenggara (SEAPA) dan juga anggota kehormatan di Dewan Pers Nasional Thailand.

Dia mengatakan pada Citra Prastuti kalau media harus lebih banyak terlibat dalam pembentukan Masyarakat ASEAN yang akan segera diberlakukan tahun depan.

 
“Masyarakat ASEAN hanya fokus pada ekonomi, politik, keamanan, sosial dan budaya. Mereka melupakan komunitas media. Tanpa partisipasi aktif media untuk menciptakan kesadaran dan perasaan saling terikat di antara kita, masyarakat ASEAN tidak akan mampu bertahan. Itu poinnya. Contoh, seberapa sering surat kabar Indonesia menulis tentang ASEAN? Memang jurnalis Indonesia menulis soal ketinggalan Indonesia dalam penyatuan ekonomi ASEAN. Hanya itu. Anda hanya fokus pada hubungan bilateral di dalam ASEAN. Anda tidak melihat ASEAN sebagai sebuah entitas, bagian dari komunitas yang lebih besar. Posisi Indonesia memungkinkan untuk berbuat lebih banyak ketimbang negara lain karena sudah menguatnya demokrasi di negara ini. Bukan lagi yang paling lambat.”

“Selama era Soeharto jika Indonesia bilang tidak, ya sudah. Tapi kini Indonesia ingin melakukan ini dan itu. Pada 2003, Indonesia mengusulkan penulisan Piagam ASEAN. Apa yang Indonesia inginkan bisa Indonesia dorong. Jadi kita punya pilar keamanan ASEAN yaitu masyarakat. Ini hal yang positif. Indonesia sudah maju dan ini penting bagi media untuk ikut terlibat.”

“Jadi sekarang kami membuat Dewan Pers ASEAN bekerja sama dengan Dewan Pers Indonesia dan Thailand. Kami merangkul semua kelompok karena saat ini mereka tidak peduli satu sama lain.”

Q. Apa targetnya?

“Media akan dikuatkan dan mereka akan berperan mempromosikan identitas, kesadaran dan persatuan ASEAN. Kami mulai dengan ambisi dan tujuan yang tidak muluk-muluk yaitu memastikan dewan pers di ASEAN bisa bersatu. Tapi sayangnya beberapa negara tidak punya Dewan Pers seperti Brunei dan Singapura. Singapura tidak punya Dewan Pers karena mereka negara yang sempurna...saya becanda.” 

“Indonesia sudah memulainya dan menjadi model bagi ASEAN. Indonesia dan Thailand sudah memulainya dan dari sanalah akan berkembang.”

“Dalam budaya media di Indonesia sebelum 1998, Anda tidak bisa menulis apa saja. Tapi tiba-tiba itu berubah. Lihat Myanmar. Tekanan negara tetangga itu penting. Ketika ASEAN menjadi satu komunitas, akan lebih mudah membagi nilai dan norma satu sama lain. Bagi saya itu penting. Tapi beberapa teman kita tidak menyadari itu.”

“Di masa mendatang, dengan adanya kerjasama yang lebih baik, bakal ada lebih banyak pertukaran. Sekarang Anda tidak banyak menulis soal Thailand. Semua orang memakai berita Reuters untuk mempelajari negara tetangga padahal mereka juga bisa salah menganalisa situasi di Thailand.”

“Mereka tidak terlalu peduli. Kita butuh media lokal. Media lokal harus banyak menulis tentang ASEAN.”

“Karena satu isu di satu negara ASEAN akan berimbas pada negara ASEAN lain seperti kabut asap dan pekerja migran. Anda tidak bisa hanya menulis dari dalam saja. Kabut asap, terorisme, migrasi dan juga pengungsi Rohingya, mempengaruhi semua negara anggota ASEAN.” 

“Di masa depan jurnalis ASEAN akan meliput isu-isu ini secara lebih luas karena ada Dewan Pers ASEAN. Lembaga ini akan mempromosikan, membantu dan membantu penyatuan ASEAN dan memperkuat masyarakat. Dan memastikan media memainkan peran yang positif.”

Kavi Chongkittavorn adalah bekas Ketua Aliansi Pers Asia Tenggara (SEAPA). Saat ini dia sedang membentuk Dewan Pers ASEAN yang pertama.

  • ASEAN
  • media
  • demokrasi
  • Kavi Chongkittavorn
  • Citra Prastuti

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!