ASIACALLING

Pengungsi Karen di Thailand Tak Punya Kampung Halaman

Pengungsi Karen di kamp pengungsian di perbatasan Thailand Myanmar. (Foto: Kannikar Petchkaew)

Selama enam dekade, Myanmar menghadapi perang sipil. Kelompok etnis menjadi pusat konflik yang menderita akibat kekerasan. Ratusan ribu etnis minoritas Myanmar terpaksa melarikan dari kampung halaman mereka dan kini tinggal sebagai pengungsi di negara lain.

Di perbatasan Thailand-Burma, ada sekitar 100 ribu minoritas etnis Karen tinggal di sembilan kamp pengungsi. Beberapa generasi sudah tinggal di sana. Bagi kaum mudanya, inilah satu-satunya rumah yang mereka kenal.

Dengan telah ditandatanganinya genjata senjata di Myanmar, mereka mungkin segera dipulangkan. Tapi para pengungsi menganggap tidak ada yang menanti mereka di sana. Pertempuran terus berlanjut di desa-desa, ranjau darat belum dibersihkan dan ada kekhawatiran tanah mereka sudah dirampas militer.

Koresponden Asia Calling KBR, Kannikar Petchkaew, berkunjung ke Maesod di perbatasan Myanmar Thailand untuk menyusun cerita berikut ini.

Ini adalah suara anak-anak yang sedang menyanyikan lagu rakyat Karen. Ceritanya tentang kampung halaman mereka di Myanmar selatan. Karen adalah salah satu dari 135 kelompok etnis minoritas di Myanmar.

Pada 1978, seribu pengungsi Karen tiba di kota-kota perbatasan Thailand. Sejak itu jumlahnya terus bertambah.

Mereka melarikan diri dari pertempuran antara tentara Myanmar dan pemberontak etnis bersenjata yang berjuang untuk kemerdekaan.

Mereka datang ke Thailand untuk berlindung dan berharap hanya tinggal beberapa bulan saja. Tapi itu 40 tahun silam. Hari ini, mereka masih di sini karena tidak bisa pulang.

Sejak tiba, Hayso tinggal di Mae La, kamp terbesar di perbatasan. Hujan turun dengan lebat saat saya bertemu dengannya. 

Di sini, lebih dari 40 ribu orang tinggal di gubuk-gubuk kumuh yang penuh sesak, dipagari dan dijaga oleh tentara Thailand.

“Ini seperti Anda dimasukkan ke dalam gua. Anda tidak bisa melihat sesuatu yang nyata, seperti bulan, bintang atau matahari sungguhan. Yang Anda lihat hanyalah refleksi di dalam gua. Jadi sulit membayangkan apakah ini sungguhan atau tidak. Hanya Anda yang berada di luar gua, yang bisa melihat refleksi alam atau dunia yang sesungguhnya,” kisah Hayso.

Hayso Thako sekarang berusia 36 tahun. Dia baru berusia enam tahun saat orangtuanya meninggalkan kota asal mereka di Negara Bagian Karen. Mereka harus berjalan kaki berhari-hari untuk sampai di perbatasan Thailand.

Hayso mengaku terlalu kecil untuk bisa ingat perjalanan itu. Yang dia ingat adalah orangtuanya berjanji kalau ini tidak akan berlangsung lama. Setelah 30 tahun, dia dan keluargnya masih di sini.

“Saya tidak punya status, hanya pengungsi. Saya tidak punya akta kelahiran karena tidak terdaftar di sini,” tuturnya.

Para pengungsi yang terjebak di Thailand, seperti Hayso, saat ini menghadapi masa depan yang tidak pasti.

Program yang menjanjikan pemukiman kembali di negara lain telah berakhir. Para donor yang dulu mendukung mereka di Thailand telah memindahkan dana mereka ke Myanmar. Krisis internasional baru telah muncul, berusaha mendapat perhatian dan simpati dunia.

“Kami mencoba untuk terus melakukan advokasi kepada donor internasional. Kami bertemu perwakilan kedutaan dari Kanada, Amerika Serikat, Inggris, dan Australia karena sebagian besar donor Uni Eropa sudah pergi. Mereka memindahkan kantor mereka ke Rangoon, Burma,” jelas Hayso.

Kesepakatan gencatan senjata pertama kali ditandatangani pada Oktober 2015. Ini diharapkan akan mengakhiri enam dekade perang sipil antara pemerintah Myanmar dan kelompok etnis minoritas.

Tapi ini tidak membuat pengungsi senang. Malah sebaliknya kata Hayso, mereka dihadapkan pada pilihan sulit. 

Di satu sisi, dunia menyuruh mereka pulang dengan memutus bantuan internasional yang selama ini menjadi sandaran mereka. Di sisi lain, kondisi kampung halaman belum aman karena pertempuran masih berlangsung.

Sementara untuk bertahan di kamp pengungsi makin sulit. “Kekhawatiran kami adalah makanan. Saya khawatir jika pengungsi tidak punya cukup makanan akan timbul masalah di kamp. Ini nantinya bisa berpengaruh pada daerah tetangga,” kata Hayso.

Pengungsi tidak bisa bekerja dan tidak mendapat pendidikan yang layak. Militer Thailand juga melarang mereka meninggalkan kamp. Hidup di sana tidak punya masa depan. 

Bagi generasi yang lebih tua, pulang kampung adalah pilihan berbahaya dan menakutkan. Sementara bagi generasi yang lebih muda, ini tidak seperti pulang ke rumah. Separuh pengungsi di sini lahir di kamp dan tidak pernah pergi kemana-mana.

“Saya tidak tahu harus bagaimana jika mereka ingin saya kembali ke negara bagian Karen? Saya belum pernah ke sana karena saya lahir di Thailand. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa melakukannya atau apa yang harus saya lakukan,” kata salah seorang pengungsi Say Hel, yang berusia 20 tahun.

Penandatangan gencatan senjata di Myanmar ini bisa berarti para pengungsi akan segera dipulangkan. Pejabat militer Thailand pun telah memperingatkan kalau kamp pengungsian akan segera ditutup.

Meski tinggal di kamp pengungsian tidak menyenangkan, tapi pindah juga bukan dianggap pilihan. 

“Saya bukan orang Thailand atau Myanmar. Tidak ada yang menganggap saya warga negaranya dan saya bukan warga negara manapun. Saya merasa sudah kehilangan harapan. Haruskah saya mati saja? Saat ini saya tidak ingin melakukan apapun,” keluh Say Hel.

 

  • Kannikar Petchkaew
  • Etnis Karen Myanmar
  • Pengungsi Myanmar di Thailand
  • Perang sipil Myanmar

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!