CERITA

Joki Anak di Pacuan Kuda Indonesia

Ade, joki anak di Sumba. (Foto: Rebecca Henschke)

Ini hari yang cerah di Sumba. Saya berdiri di samping Ade, seorang joki anak profesional.  Tingginya hanya sepinggang saya. Saat ini ia memakai masker penutup wajah seperti ninja, jadi saya bisa hanya melihat mata dan mulutnya  saja.

Selain itu dia juga memakai helm kecil tapi bertelanjang kaki.  Matanya memar akibat jatuh dari kuda. Dia sudah menjadi joki sejak berusia 4 tahun. Ade tidak punya kuda sendiri. Jadi dia ada di sini berharap seseorang akan memperkerjakannya sebagai joki.

 

Seorang pria datang dan bertanya apakah Ade mau jadi jokinya. Laki-laki itu menarik tangannya dan mengatakan “Saya mau pakai dia” dan ayah Ade setuju.  Kuda-kuda di sini berukuran kecil, tingginya hanya sekitar 1,5 meter.


Tapi meski begitu, Ayah Ade tetap harus membantunya naik ke punggung kuda yang belum pernah ditungganginya itu.

 

“Dari sejak umur empat tahun bisa kita pake. Kita latih dulu dari umur tiga setengah, jadi umur lima empat tahun sudah bisa dipakai. Sekarang sudah umur tujuh tahun sudah pintar dia,” kata ayah Ade.

 

Dan pacuan pun dimulai. Orang-orang berlarian ke ujung lintasan ke garis finish.


Saya Dapat berapa tadi? ”Dikasih lagi 50 lagi.”

 

Itu bayaran Ade setiap kali ikut pacuan. Dan dia sudah menyelesaikan tiga putaran sekarang. Dia pun mengaku capek...

 

Ayahnya lalu menurunkan dia dan membawanya pergi. “Kalau dia masih kuat dia naik terus lebih dari 10 kali. Kalau masih kuat ya naik terus, kalau tidak kuat ya minta istirahat.”


Ade dan kakaknya Enid, 9 tahun, adalah joki. Mereka adalah pencari nafkah bagi keluarga mereka, kata sang ibu.  

 

“Kalau kita bawa uang itu ada 15 juta ada 10 juta itu tergantung nanti...ya selama 7 hari. …”

 

“Ada sekolah. Dia minta ijin dulu karena ada bos di sini yang panggil dia sudah tahu dia naik kuda. Kalau gurunya bilang begini kenapa kamu boleh naik kuda terus terus kamu nda mau sekolah? Siapa yang kasih makan bapak dan ibu saya, siapa yang urus adik-adik saya, dia bilang begitu ke guru,” kata sang ibu.  


Di Indonesia, mempekerjakan anak di bawah usia 15 tahun itu melanggar hukum. Dan menurut Undang-undang, anak-anak mesti berusia 18 tahun untuk boleh melakukan pekerjaan yang berbahaya.

 

Tapi panitia acara Umbu Tamba mengatakan pacuan kudanya tidak melanggar hukum.

 

“Ya karena tradisi kan, adat. Hukum adatkan tetap ada dibandingkan hukum formal. Sebetulnya dari dulu saya juga bekas joki. Saya berulang kali jatuh dari kuda tapi tidak papa.”

 

Q. Ada yang bilang, anak-anak dipaksa jadi joki, dan tidak baik kan memperlakukan anak seperti ini?

 

“Nda, itu hanya provokator saja, kali nga punya kuda, dia nga mengerti kuda. Tidak ada paksaan di sini, tidak ada. Dia tunggang kuda kan tidak gratis juga. Walaupun nga ada target, harus sekian nga, tapi kita kan punya rasa kasih. Ya kita hargai mereka punya jasa,” tambah Umbu Tamba.


Ini saatnya makan siang dan keluarga itu duduk di rerumputan di tengah lintasan. Pamannya ingin bicara soal taktik berkuda.


Tapi Ade tidak mendengarkan. Dia sibuk membual di depan segerombolan anak lelaki yang mengerumuninya, tentang berapa banyak balapan yang sudah ia menangkan.

 

“Juara tiga sekali.... juara dua, dua kali...juara satu, dua kali...” kata Ade.

 

Ade mulai menarik ayahnya, dia lapar, katanya. Ibunya bergegas menyiapkan makanan berupa daging sapi dengan kuah kacang, mie dan nasi. Ade yang makan pertama... baru kemudian ayah dan ibunya menghabiskan sisanya.

 

“Saya belikan, sapi saya belikan buat mereka rumah. Takut saya kalau sudah besar takut mereka tanya, mana hasil saya cari. Saya takut begitu. Siapa tahu mereka mau sekolah,” cerita ibu Ade.

 

Ade harus melakukan pekerjaan lain saat usianya menginjak 15 tahun. “Saya mau jadi tentara. Saya mau tembak...begini...trutt....”


Istirahat makan siang pun berakhir dan pacuan pun kembali digelar. Sekarang Ade menunggang kuda baru dan saat kuda itu melewati stadion, ia membelok dengan tajam dan meninggalkan lapangan menuju pintu gerbang.


Pintu gerbang itu tertutup. Kuda mengangkat kepalanya dan Ade terlontar dari punggung kuda.

 

Ibunya bergegas lari ke arah Ade. Semula saya kira dia mencium kepala Ade tapi kemudian saya diberitahu kalau dia meniup roh jahat pergi. Kaki Ade tampaknya terluka.


Saya bertanya pada sang ibu apakah mereka bakal membawanya ke rumah sakit.

 

“Nda, ngga pernah bawa ke rumah sakit. Kalau kita ini kalau patah itu harus obat Bima. Kalau di rumah sakit, kalau dia tidak perbaiki ini kan langsung potong. Tapi kalau kita orang Bima tidak. Ada obat sendiri. Diurut dukun dulu,” kata ibu Ade.

 

Ade mencoba berdiri. Dia bisa berjalan. Kali ini kakinya hanya mengalami memar. Saya bertanya pada sang ayah apakah dia takut melepas Ade ikut balapan lagi.

 

“Ya karena kita sudah biasa, sudah menjadi tradisi kita. Kita tidak merasa takut lagi. Kadang ada yang patah juga. Patah kaki kadang. Pernah dia patah. Yang besar itu juga pernah patah kiri kanan dia punya kaki. Tapi tidak ada rasa takutnya dia. Semakin merasa sakit, semakin berani dia karena sudah terbiasa,” tutur ayah Ade.

 

Sebenarnya pemerintah daerah sudah menaruh perhatian soal kondisi keamanan yang lebih baik bagi joki anak-anak ini.


“Sekarang saya sudah minta panitia pengelolanya itu untuk memperhatikan aspek keselamatan mereka termasuk pembagian porsi untuk joki. Harus siapkan,” kata Gidion Mbilijora, Bupati Sumba Timur.


Q. Tapi menurut hukum di Indonesia, mempekerjakan anak di bawah usia 15 tahun itu melanggar hukum tapi di sini anak-anak yang baru berusia 4 atau 5 tahun sudah bekerja sebagai joki.


“Ya betul ada UU itu tapi ini terkait dengan budaya, budaya setempat sehingga pemerintah juga harus melihat ini sebagai bagian budaya masyarakat setempat.”

 

Q. Saya bertemu anak-anak yang jatuh dari kuda dan kakinya patah dan kepalanya terluka. Apa yang akan Anda lakukan kalau pemerintah pusat bersikukuh tradisi ini harus diakhiri?

 

“Kalau dilarang saya sulit nanti. Saya yang susah. Saya akan diprotes warga saya karena hasil dari pacuan itu mereka memelihara ternak dan ketika masuk pacuan, harganya cukup tinggi.”

 

Kembali ke pacuan, pemilik kuda lain datang dan meminta Ade kembali berlomba. Tapi untuk kali pertama, dia menolak. Dia terlihat lelah dan memeluk pamannya.

 

Dia bilang sakit dan tidak mau lagi melanjutkan pacuan.

 

Pacuan hari ini berakhir. Ade berlarian ke lintasan pacu yang kosong untuk menangkap jangkrik. Sementara joki anak yang lain menari-nari. Kini mereka bebas menjadi anak-anak paling tidak sampai besok.


 

  • Rebecca Henschke
  • joki anak Sumba
  • pacuan kuda Sumba
  • Pekerja Anak

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!