ASIACALLING

Tiongkok Menolak Putusan Den Haag soal Laut Cina Selatan

Simposium terkait sengketa maritim di Laut Cina Selatan diselenggarakan di Stockholm, Swedia (Foto:

Dalam tiga dekade terakhir, Tiongkok telah menjadi kekuatan ekonomi kedua terkuat di dunia. 

Untuk meningkatkan standar hidup 1,4 miliar penduduknya, Tiongkok menerapkan kebijakan secara agresif di kawasan – dengan terang-terangan mendeklarasikan haknya atas wilayah maritim yang luas di kawasan lepas pantainya. 

Tapi keputusan dari Mahkamah Arbitrase Internasional Den Haag baru-baru ini meruntuhkan klaim Tiongkok secara telak. Soal ini dibahas dalam sebuah simposium internasional di Stockholm, Swedia. 

Selengkapnya bersama Ric Wasserman. 

Konferensi internasional ini membahas soal pergeseran kekuatan dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Yang jadi fokus pembahasan adalah kemunculan Tiongkok sebagai kekuatan regional dan efek dari putusan pengadilan internasional. 

12 Juli dipandang sebagai hari yang bersejarah bagi Filipina dan negara-negara tetangganya setelah bertahun-tahun terlibat konflik. 

Perfecto Yasay adalah juru bicara Departemen Luar Negeri Filipina. 

“Filipina menyambut baik putusan 12 Juli 2016 yang dikeluarkan oleh Mahkamah Artbitrase tetap soal Laut Cina Selatan. Filipina memberikan penghargaan yang tinggi terhadap putusan yang bersejerah ini. Ini adalah kontribusi penting atas usaha yang terus menerus dalam upaya menangani konflik Laut Cina Selatan.”

Mahkamah artbitrase internasioal Den Haag membatalkan klaim Tiongkok – meski Tiongkok menolak untuk mengakui putusan pengadilan tersebut. 

Bagi Filipina, keputusan itu berkaitan dengan hak mengambil ikan di dekat wilayah yang disengketakan, yaitu Kepulauan Panatag. 

Selama beberapa tahun, Tiongkok sibuk membangun pulau buatan di area laut tersebut, beberapa lengkap dengan landasan udara. Di saat yang sama, Tiongkok mengusir kapal-kapal ikan dari Filipina, Malaysia, Vietnam dan Jepang. 

Semua kekuatan Tiongkok dikerahkan untuk mengakses ikan, minyak dan area laut seluas 800 kilometer dari lepas pantai. Ini adalah jalur laut terpenting di dunia. 

“Pemerintah Tiongkok mengklaim areal luas di Laut Cina Selatan. Jika Tiongkok menguasai wilayah tersebut, maka transportasi pemerintah yang membawa sumber daya alam ke Korea Selatan akan sangat terdampak. Ini adalah kekhawatiran terbesar kami.”

Itu tadi Yongwook Ryu, asisten profesor di Australia National University. 

Dia merujuk pada apa yang disebut sebagai 9-dash line atau 9 garis putus. Ini adalah garis yang dibuat oleh Pemerintah Tiongkok di Laut Cina Selatan sebagai wilayah tradisional pengambilan ikan mereka. Hal ini memberikan Tiongkok hak atas 80 persen dari total wilayah Laut Cina Selatan. 

Tapi Ryu mengaku tak khawatir dengan dominasi Tiongkok di wilayah regional.

“Korea tak khawatir soal dominasi Tiongkok di wilayah ini karena kehadiran Amerika Serikat masih terasa di kawasan ini. Jadi banyak orang Korea yang percaya  bahwa Amerika akan mempertahankan pengaruh mereka di sini.”

Putusan Mahkamah ini dijadikan alasan bagi Amerika Serikat, Jepang dan Australia untuk melakukan sebuah pergerakan navigasi besar-besaran secara multilateral. Ini dilakukan untuk menguji klaim Tiongkok secara nyata – meski ada resiko konfrontasi militer. 

Yang terdampak dari putusan ini adalah Filipina dan Korea. Selain itu, menurut Yongwook Ryu, yang harus dikhawatirkan juga adalah Jepang – karena rasa nasionalisme yang tengah bangkit di sana.

Sengketa maritim ini bisa memicu aksi militer. 

“Tiongkok melihat pada Jepang dan berpikir, kekuatan Jepang sekarang tidak sekuat seperti di masa lalu. Tapi sekarang orang-orang Jepang memiliki keinginan lebih besar untuk menggunakan kekuatan dibandingkan dulu. Pemerintah Jepang ingin menggunakan kekuatan yang ada dalam konteks aliansi pertahanan dengan Amerika Serikat.”

Kevin Clements adalah profesor Studi Perdamaian dan Konflik di Universitas Otago di Australia. Dia menggarisbawahi nasionalisme yang menjadi kekuatan yang tumbuh, sekaligus berbahaya, di wilayah kawasan. 

“Munculnya kembali nasionalisme di Asia Timur Laut dengan Jepang yang cenderung ke kanan, serta keinginan untuk mengkaji ulang perjanjian pasca perang yang sudah ada – saya pikir ini adalah tanda-tanda yang sangat mengkhawatirkan karena itu memunculkan nasionalisme Tiongkok. Yang lebih penting lagi, ini memicu ingatan dan rasa malu Tiongkok karena pendudukan Jepang pada 1930an.”

Pergerakan Cina di Laut Cina Selatan juga mengusik Amerika Serikat, yang harus membela partner regionalnya. 

Tapi hal ini harus dilakukan secara hati-hati, kata Wang Yizou, professor Politik Internasional di Universitas Beijing. 

“Anda harus membangun hubungan yang komprehensif dengan Amerika Serikat. Kadang ada komplikasi, kadang hubungan yang saling menguntungkan untuk keduanya. Harap sabar. Bagaimana pun, Tiongkok adalah sebuah negara dengan jumlah penduduk seperlima penduduk dunia. Jalan masih panjang.”

Presiden Tiongkok Xi Jinping membela klaim maritimnya sebagai isu domestik. Ini dianggap sebagai upaya mengembalikan kedigdayaan Tiongkok setelah dipermalukan oleh kekuatan besar lainnya untuk waktu yang lama. 

Solusi yang baik untuk Tiongkok, di tengah putusan Mahkamah Arbitrase Den Haag, adalah satu-satunya jalan keluar, kata Kevin Clements. 

“Dengan tantangan seperti ini, sangat penting untuk berupaya membuat mekanisme institusional untuk memastikan kepada Tiongkok kalau kepentingan negara tersebut diketahui bersama. Sekaligus mencari cara untuk memainkan peran yang positif.”

  • Laut Cina Selatan
  • Tiongkok
  • Mahkamah Arbitrase Internasional
  • den haag belanda
  • Ric Wasserman

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!