INDONESIA

Demi Persiapan SEA GAMES, Warga Digusur

"Warga lokal mengaku diusir paksa dari tanah mereka jelang SEA Games yang akan dihelat di Myanmar."

Ali Fowle DVB

Demi Persiapan SEA GAMES, Warga Digusur
SEA Games Burma, tuna wisma Burma, penggusuran lahan untuk menyambut SEA Games di Burma

Warga lokal mengaku diusir paksa dari tanah mereka jelang SEA Games yang akan dihelat di Myanmar.

Lahan pertanian mereka digusur demi mempersiapkan lomba perahu layar yang akan digelar di sebelah barat negeri itu.

U Tun Oo mengais rejeki dengan menarik becak.

20 tahun lalu, rumah dan mata pencahariannya direnggut. Lahan dan rumah disita oleh pemerintah militer.

“Mulai dari sini sampai sana, dulunya adalah tanah saya.”

Lahan disita dalam rangka pembangunan zona hotel di kota pantai Chaung Tha.

Dia tidak mendapatkan kompensasi sepeser pun.

“Sampai area ini, dari sini dan terus kesana jumlahnya 16 hektar”

U Tun Oo diberi kompensasi kurang dari 10 ribu rupiah untuk setiap pohon kelapa miliknya. Tapi tak sepeser pun untuk tanah.

Di lahan pertanian kelapanya, sekarang berdiri sebuah bangunan hotel megah milik pengusaha terkaya, Zaw Zaw, pendiri Max Myanmar Group. Dia terkenal punya koneksi dengan bekas petinggi pemerintahan.

Dua dekade berlalu sejak kejadian ini. Tapi Tin Oo masih harus membanting tulang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Dulu, kami hidup dengan mengandalkan padi di halaman belakang dan kelapa di kebun. Tetapi sekarang kami tidak punya apa-apa, termasuk pekerjaan. Saya tidak punya pilihan selain menarik becak di jalan.”

U Tun Oo adalah satu dari ratusan pemilik lahan yang hak-haknya dirampas saat pembangunan kawasan Chaung Thad dan tempat peristirahatan Ngwe Saung, di sebelah barat Irrawaddy Myanmar.

Pesta multinasional olahraga SEA Games akan diselenggarakan di sini dan masalah ini akan kembali muncul.

Moe Thant seorang petani mengatakan Pemerintah akan menggunakan lahan mereka untuk lomba perahu layar. Pemerintah akan menggunakan lahan pertanian kelapa mereka dan pemerintah berjanji untuk memberikan kompensasi kepada keluarga mereka.

Namun janji itu sampai sekarang belum terpenuhi.

Moe Thant adalah satu dari empat keluarga yang melayangkan petisi hukum setelah lahan mereka diambil alih pemerintah.

Pengacara yang membela petani ini mengatakan kalau kasus ini adalah perampasan hak tanah.

Po Phyu adalah pengacara para pertani.

“Kasus-kasus yang kita miliki sekarang tidak soal kepentingan umum atau Negara, melainkan untuk kepentingan perorangan atau perusahaan. Undang-undang Pertanahan menyatakan, dalam hal penyitaan tanah kompensasinya diatur sesuai dengan nilai pasar. Tetapi perusahaan yang menyita tidak memberikan kompensasi sama sekali. Selain itu, korban yang merasa dirugikan boleh mengajukan tuntutan secara hukum melalui pengadilan. Namun mereka tidak diperbolehkan melakukan tindakan tersebut. Jadi semua penyitaan lahan ini benar-benar tidak sah dan melanggar hukum.”

Lahan mereka pertama kali disita pada tahun 1997.

Tapi selama 13 tahun, lahan itu dibiarkan begitu saja sehingga keluarga mereka kembali mendiami lahan tersebut.

Moe Thant mengaku mereka tidak mendapat kompensasi seperser pun.

“Kami tidak mendapatkan kompensasi sepeserpun dari pemerintah. Jadi kami membatasi area SEA games itu dengan pagar. Tindakan kami dinilai melanggar ijin masuk oleh Irrawaddy. Padahal kami membangun di atas lahan kami sendiri. Dia tidak bisa mengatakan bahwa ini melanggar hukum.”

Perubahan demokrasi yang terjadi di Myanmar, memungkinkan orang untuk bebas berekspresi.

Ketika hak-hak mereka terampas atau diperlakukan tidak adil, mereka tidak segan menantang pihak otoriter.

Namun bagi pengacara Po Phyu, untuk mendapatkan keadilan, itu lain cerita.

“Mereka memiliki kebebasan untuk menuntut hak-hak mereka namun tuntutan itu tidak didengar.”

Kasus kepemilikan tanah ini terus bergulir dan masih terus diperdebatkan.

Di sisi lain, para petani ini khawatir dengan masa depan mereka.

Usia U Tin Oo makin tua.

Tanpa kepastian kompensasi atas tanahnya yang disita, dia harus menarik becak untuk menghidupi keluarganya.

“Ketika kami masih tinggal di atas lahan ini, meski tidak kaya, kami masih bisa makan setiap hari. Kami tidak perlu khawatir tentang keberlangsungan hidup sehari-hari. Sekarang kami tidak punya atap untuk berteduh dan segudang masalah. Sekarang kami harus membanting tulang dari hari ke hari.”

Para petani merasa sudah terlambat untuk meminta hak tanah mereka kembali.

Namun mereka menginginkan kompensasi yang sesuai dengan nilai tanah.

Saat ini Myanmar merupakan salah satu negara berkembang dan resiko perampasan hak para pemilik tanah sangat tinggi.

Banyak petani yang ingin mempertahankan tanah mereka. Mereka berharap pada pemerintah untuk menghentikan semua bentuk perampasan hak tanah secara ilegal.

  • SEA Games Burma
  • tuna wisma Burma
  • penggusuran lahan untuk menyambut SEA Games di Burma

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!