INDONESIA

Korban Fesyen di Kamboja

"Ketika buruh garmen di Kamboja turun ke jalan untuk menuntut kenaikan gaji bulanan sebesar 600 ribu Rupiah, mereka dibunuh."

Korban Fesyen di Kamboja
Kamboja, buruh, garmen, upah, Rebecca Henschke

Suami Khat Samneang bekerja di pabrik yang memasok barang untuk merek Amerika Serikat, Wal-mart. 


Dia mulai bekerja di sana saat berusia 16 tahun dan mendapatkan upah 30 ribu Rupiah per hari. 


Pada Januari lalu, ketika rekan-rekan kerjanya mulai menuntut kenaikan upah minimum dua kali lipat, ia memutuskan untuk bergabung dengan mereka. 


“Penghasilannya tidak cukup karena harga-harga pada naik. Jadi dia ikut unjuk rasa untuk menuntut kenaikan upah. Ini untuk anak kami agar bisa hidup normal seperti orang lain.”


Komisi yang dibentuk pemerintah mengumumkan upah minimum untuk hidup layak sekitar 1,8 juta Rupiah per bulan.


Namun ketika pemerintah mengumumkan UMP di bawah angka itu... buruh bereaksi. 


Rekaman ini diambil buruh pabrik garmen dari asrama mereka. 


Rekaman itu menunjukan penembakan peluru tajam oleh Polisi ke ratusan buruh yang memblokade jalanan di luar kawasan industri Kanada. 


Pegiat HAM Moses Ngyen membawa saya ke lokasi unjuk rasa berdarah itu.


“Saat itu keadaannya seperti medan perang antara tentara dan pekerja...beberapa orang tewas ditembak dan sekitar 40 orang luka-luka dan dibawa ke rumah sakit.”


Ketika Khat Samneang mendengar berita itu di radio...ia mencoba menghubungi suaminya. 


Namun tidak berhasil, lantas ia menghubungi saudara iparnya. 


“Dia mengatakan pada saya kalau suami saya tewas ditembak. Dan dia dalam perjalanan membawa jenazahnya ke rumah sakit Rusia. Baru ketika melihat jenazahnya, saya percaya dia pergi. Saya tahu dari foto kalau sebelum ditembak dan meninggal, suami saya memohon agar tidak ditembak.“


Saat itu empat orang tewas dan seorang remaja pria berusia 16 tahun hilang dan dipercaya juga sudah tewas.  


Sementara itu, 20an orang ditangkap termasuk pimpinan serikat buruh, Vorn Pov. 


Istrinya sudah berulang kali mengajukan permohonan pembebasan dengan jaminan dan berulangkali pula ditolak.


“Mengapa mereka tidak membebaskan dia agar dia bisa mendapatkan perawatan medis? Ini tidak adil. Mengapa? Kami ingin keluarga kami berkumpul kembali.”


Vorn Pov dan yang lainnya didakwa merusak fasilitas umum dan memicu kekerasan.


Polisi menegaskan para pengunjuk rasa yang bertindak anarkis harus diusir.


“Keluar dari jalan. Apakah Anda ingin membuat perang lain? Mereka sudah memberi Anda kedamaian. Saat ini sudah damai... Jadi apa yang Anda cari?”


Tidak ada penyilidikan mengenai penggunaan peluru tajam saat itu...

 

David Welsh dari Pusat Solidaritas hak-hak buruh Amerika Serikat secara teratur bertemu dengan pemerintah Kamboja. 


“Dalam catatan saya, pemerintah mengatakan tidak akan memberikan kompensasi kepada para keluarga korban atau korban luka-luka. Sehingga untuk mendapatkan kompensasi, butuh proses yang berkelanjutan di mana perusahaan-perusahaan itu akan diminta untuk mengumpulkan dana.”


Ken Loo mewakili sekitar 550 pabrik garmen dan alas kaki di Kamboja. Menurutnya, perusahaan TIDAK akan membayar kompensasi kepada keluarga korban .... 


Pasalnya, industri telah kehilangan jutaan Dolar karena aksi protes selama dua minggu itu.


“Sebenarnya kamilah yang menderita dalam kejadian ini. Siapa yang akan memberikan kami kompensasi? Pembeli tidak akan memberikan kami satu sen pun. Saya bersimpati pada perempuan yang Anda temui, yang kehilangan suaminya. Tapi  apakah ia terlibat dalam demonstrasi itu?”


Q. Dia mogok untuk mendapatkan upah yang lebih baik. Dia mengatakan tidak bisa hidup dengan upah 1,1 juta Rupiah dan ia berpikir punya kesempatan seperti yang ILO katakan, mogok kerja. Dia melakukan mogok dan terbunuh.


“Dia punya hak untuk mogok dengan damai. Tapi tidak boleh terlibat aksi kekerasan.”


Q. Dia tidak terlibat aksi kekerasan kata istrinya. 


“Benarkah? Protes itu berujung pada kekerasan.”


Q. Dia turun ke jalan?


“Mengapa dia ada di sana? Jika saya berujuk rasa dengan damai. Tapi kemudian saya atau Anda terperangkap di situasi kekerasan dan ada ratusan polisi anti huru-hara di depan saya. Jika saya tidak terlibat, apakah saya akan tetap berada di sana? Tidak. Saya akan segera pulang.”


Industri garmen menghasilkan 63 triliun Rupiah dari 600 pabrik di Kamboja. 


Ini menyumbang lebih dari 80 persen dari PDB. 


Garmen merupakan industri tunggal terbesar di negara ini. Tapi pengusaha mengklaim tidak mampu untuk menaikkan upah. Penyebabnya karena merek atau pembeli tidak mau membayar lebih ....


“Investor di sini mau mendapat untung bukan untuk beramal. Jika kami bisa menghasilkan uang, kami akan tinggal. Jika tidak, kami akan pergi.”


Di Asia, upah minimum di Tiongkok, Vietnam dan Indonesia lebih tinggi dari Kamboja. 


Mu Sochua mengatakan, ancaman perusahaan soal angkat kaki telah digunakan selama bertahun-tahun.


“Darah para pekerja mencemari kaos GAP dan sepatu Puma dan Nike. Mereka tidak akan meninggalkan Kamboja dan menekan pemerintah untuk mencari solusinya.”


Asosiasi garmen Kamboja mengklaim baru mampu membayar upah sebesar 1,8 juta Rupiah per bulan dalam waktu lima tahun mendatang. Tapi, serikat pekerja tidak bersedia menunggu dan akan terus berjuang.


Khat Samneang yang kini membesarkan putrinya tanpa seorang ayah akan kembali bekerja di pabrik dengan upah 30 ribu Rupiah per hari. Membuat pakaian untuk merek dunia seperti GAP dan H & M.


“Saat anak saya mulai bisa makan dan berjalan, saya akan membawanya kepada ibu saya dan meninggalkannya di sana. Saya akan mulai bekerja di pabrik untuk mendapatkan uang untuk anak saya. Ketika dia besar nanti, saya ingin dia belajar di Phnom Phen. Saya ingin dia bersekolah dan punya pengetahuan.”


  • Kamboja
  • buruh
  • garmen
  • upah
  • Rebecca Henschke

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!