CERITA

Harapan Terwujudnya Perundingan Damai di Afghanistan Menipis

"Sudah 10 tahun terakhir Taliban mengumumkan perang selama musim semi atau sekitar bulan April. "

Puluhan pos pemeriksaan berdiri di pusat kota Kabul. (Foto: Shadi Khan Saif)
Puluhan pos pemeriksaan berdiri di pusat kota Kabul. (Foto: Shadi Khan Saif)

Peluang gencatan senjata antara Taliban dan pemerintah Afghanistan tampaknya sulit terwujud setelah militan menolak untuk bergabung dengan pembicaraan damai.

Kelompok empat negara yang terdiri dari Amerika Serikat, Tiongkok, Pakistan dan Afghanistan telah meminta Taliban untuk meletakkan senjata dan bergabung dengan proses perdamaian bulan ini.

Koresponden Asia Calling KBR, Shadi Khan Saif, melaporan bagaimana reaksi warga Afghanistan soal pembicaraan damai dan perang yang kembali membayangi negara itu.

Puluhan pos pemeriksaan berdiri di pusat kota Kabul. 

Ibukota Afghanistan yang dulu porak poranda akibat perang, kini bersiap untuk menghadapi perang baru. Diperkirakan Taliban akan mengumumkan seruan perang ini dalam beberapa hari mendatang.

Sudah 10 tahun terakhir Taliban mengumumkan perang selama musim semi atau sekitar bulan April.

Pejabat pemerintah sudah mengirim pesan yang jelas kepada Taliban kalau pembicaraan damai merupakan cara terbaik untuk menyelesaikan konflik itu.

“Seharusnya Taliban atau pihak lain, tidak ragu kalau rakyat dan pemerintah  Afghanistan serius dan tulus dalam mencari resolusi politik atas konflik ini, dengan semua dimensi internal dan eksternalnya,” kata Menteri Luar Negeri Afghanistan, Salahuddin Rabbani.

Menteri Rabbani juga mengatakan pemerintah akan terus membela Afghanistan dan akan memerangi kekuatan-kekuatan yang "bertekad membawa Afghanistan kembali ke masa lalu’.

Namun himbauan itu tiba-tiba ditolak Taliban, yang menyatakan selama pasukan asing tetap berada di negara itu, mereka akan terus berjuang.

Esmatullah, anggota Kepolisian Nasional Afghanistan (ANP) yang membantu pengamanan kota Kabul. Dia mengatakan terlepas dari dimensi politik konflik itu, dia berkomitmen untuk menjaga warga kota itu.

“Saya tidak akan mengizinkan siapapun datang membawa barang mematikan dan menciptakan kekacauan. Ini sesuai dengan ajaran agama yang saya anut,” kata Esmatullah. 

Sementara itu, kehidupan tetap berjalan seperti biasa di ibukota itu.

Di pasar pusat kota Kabul, warga sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.

Seorang mahasiswa bernama Khailil Ahmad mengatakan kalau warga kota merasa cukup aman. Tapi mereka menyadari ada pertempuran sedang berlangsung di tempat lain di negara itu.

“Saya secara pribadi kenal dengan sejumlah keluarga di distrik selatan yang bergolak, yang meninggalkan rumah mereka karena aksi kekerasan di sana. Sekarang mereka tinggal di tempat penampungan atau terpaksa menempati rumah-rumah kosong di tempat yang relatif aman di negara ini,” ujat Ahmad.

Pada semester pertama tahun lalu ada hampir lima ribu  korban.

Menurut Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA), 90 persen masyarakat sipil menjadi korban akibat pertempuran dan improvisasi alat peledak. 

UNAMA berpendapat pasukan anti-pemerintah yang bertanggung jawab atas sebagian besar kerusakan, serangan bunuh diri dan pembunuhan yang ditargetkan itu.

Dalam beberapa bulan terakhir, Kabul juga tak luput dari serangan teror. 

“Kami punya beberapa harapan terkait dengan perundingan damai. Kami berharap  ada gencatan senjata. Banyak keluarga pindah dari berbagai provinsi ke Kabul untuk mengungsi tapi Kabul juga tidak aman. Di sini juga ada ledakan dan pertempuran,” ungkap Farishta Ahmadi, seorang mahasiswa soal perasaannya tinggal di ibukota.

Di mata analis, konflik Afghanistan punya akar yang rumit. Dan kritikus menyalahkan negara tetangga, Pakistan, yang membiarkan Taliban berkembang di bawah pengawasan mereka.

Humera Hakmal, aktivis hak-hak perempuan dan perdamaian mengatakan ini mungkin menjadi salah sat penyebab. Tapi dia juga melihat Afghanistan butuh reformasi.

“Sangat disesalkan melihat Afghanistan tetap menjadi salah satu negara paling korup di dunia. Korupsi merambah semua lapisan masyarakat. Ini memaksa masyarakat yang tinggal di daerah kekuasaan Taliban, mengikuti sistem pengadilan kilat Taliban untuk mencari keadilan.”

Meski Taliban menolak bergabung dengan pembicaraan damai, pemerintah Afghanistan telah menyatakan tekadnya untuk mendorong solusi damai atas konflik yang memasuki tahun ke-15.

 

  • Shadi Khan Saif
  • Genjatan senjata Taliban
  • Perjanjian damai Afghanistan dan Taliban
  • Pasukan asing di Afghanistan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!