Pembalak Liar Bergabung Bersama Patroli Gajah Selamatkan Indonesia dari Kepunahan Gajah

"Konflik antara gajah dan manusia di Sumatera, Indonesia meningkat."

Di lahan pertanian yang tak jauh dari Taman Nasional Bukit Barisan, Sumatera, Indonesia, petugas kehutanan tengah menyalakan api untuk menakut-nakuti gajah agar kembali ke Taman Nasional

Ada enam ekor gajah, salah satunya anakan gajah karena kulitnya masih berwarna  pink. 

Petani Desa Pemerihan yang ketakutan memanggil patroli gajah setelah sekawanan gajah datang minggu lalu.

Seorang ibu muda membawa bayinya dengan mata berkaca-kaca...

“Rasanya gemetar tidak karuan. Apalagi ada anak kecil seperti ini. Saya cemas, apalagi sudah dekat sama kita.”

Tetapi, seperti yang dijelaskan Alfian Efendi, kawasan ini memang jalur yang kerap digunakan gajah..

“Dulu kan berjalan, berputar terus. Sekarang dia mau ke sana dari sini, muter ke sana lagi, di sini ada pemukiman jadi berhenti di sini. Karena banyak pemukiman, karena pekembangan zaman mau lewat yang dulu lagi tidak bisa karena ada pemukiman.”

Dalam satu dekade, habitat Gajah Sumatera hilang hingga 70 persen.

Hutan mereka beralih fungsi dengan cepat menjadi lahan pertanian, perkebunan kelapa sawit dan kertas.

Dan para pawang gajah tahu bahwa ketika penduduk desa ketakutan, berarti keberadaan gajah liar terancam.

Penjaga hutan dari Taman Nasional, Phil Philipus Samirun.

“Ketika tidak ada patroli gajah. Karena masyarakat merasa tidak diperhatikan akan adanya konflik, masyarakat akan menyingkirkan gajah dengan cara mudah dan brutal. Pembunuhan bisa terjadi. Yang jelas keberadaan gajah semakin terancam. Populasi gajah semakin terancam. Semenjak ada patrol, populasi gajah yang awalnya turun tinggal sekian, sekarang bertambah terus.”

Sebuah sungai memisahkan tanah milik Sucipto dari Taman Nasional Bukit Barisan.

Seperti kebanyakan masyarakat di sini, keluarganya berasal dari Jawa yang ingin bertani memanfaatkan lahan hutan. 

Namun, setiap minggu di sore hari gajah datang untuk memakan tanaman mereka.

Dua tahun lalu pada suatu malam, ayahnya mencoba menghalau hewan ini namun dia terbunuh. 

Sucipto hanya terdiam melihat peristiwa mengenaskan tersebut. 

“Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Ada dua gajah. Dia ditendang ke sana kemari. Kami hanya berteriak, mau apalagi, mereka tidak peduli. Sampai orangtua kita tidak bisa bernafas.”

Menurut sepupunya, Miskun Gendon, petani di sini menilai Taman Nasional dan gajah sebagai musuh. 

“Kami meminta Taman Nasional. Mengapa mereka tidak melihat setelah gajah? Mereka seharusnya melindungi hewan ini, tetapi mereka membiarkannya pergi menghancurkan tanah kami. Itu yang membuat Taman Nasional akan berkonflik dengan masyarakat.”

Karena konflik ini, Patroli Gajah dibentuk pada 2009, sebuah inisiatif dari lembaga pemerhati lingkungan WWF dan Taman Nasional. Miskun Gendon diminta untuk bergabung dengan patroli ini.

“Saya diajak. Saya bilang tidak bisa melakukan ini, tetapi mereka bilang akan ajarkan saya. Ya sudah kalau begitu. (Dulu bagaimana?) Yang jelas saya takut. Bukan musuh, tetapi takut. (Takut kenapa?) Ya takut terinjak. Jika saya mendengar langkah mereka, saya sudah lari.”

Tetapi sekarang dia berpatroli setiap hari menunggangi salah satu dari empat gajah jinak di wilayah ini.

Salah satu pawang gajah, Heru Santoso menuntun mereka di sekitar taman setiap hari. 

Sambil menunggangi gajah, ia menjelaskan apa yang mereka cari….

. 

“Pembalak liar. Kita mencegah itu. Kalau dia melihat kita, mereka lari. Kalau di sini bisa dibilang 90 persen sudah keluar dari Taman Nasional.”

Mereka bersiaga selama 24 jam sehari. 

Menunggangi gajah jinak, mereka mengusir gajah liar dari lahan pertanian warga dan kembali ke Taman Nasional. 

Namun apabila gajah terlalu jauh dari jangkauan, mereka meggunakan kembang api. 

Karena mereka terdiri dari petani lokal, mereka betindak sebagai jembatan antara Taman Nasional dan masyarakat. 

Keluarga Sumarni adalah satu satu keluarga di Taman Nasional. Dia menganggap gajah sebagai ancaman. 

Tetapi sekarang dia telah membangun hubungan dengan hewan besar ini dan mandi bersama setiap hari di dekat sungai.

Sumarni mengaku tengah mencoba mendidik keluargnya.

“Saya menjelaskan apa fungsinya hutan, gajah dan satwa lain sebagainya. Saya kasih tahu.. Hutan adalah jantungnya dunia. Biarpun masih kecil bisa jadi pertimbangan. Benar atau salah.”

Bahkan menurutnya untuk melindungi bagian kecil dari Taman Nasional ini membutuhkan kewaspadaaan. 

“Maaf mengatakan ini, tetapi ini lebih mudah merawat satwa ketimbang orang. Yang satu bisa nurut, yang satu bisa tidak. Kalau orang ada provokator semua berubah. Itu tidak terjadi dengan hewan. Hewan akan menaati apa yang diajarkan.”

Pertumbuhan penduduk di Sumatera tertinggi di Indonesia. Jumlah penduduk di sini pada 1960  hampir 2 juta dan tahun ini sebanyak 6 juta orang. 

Dalam konflik antara manusia dan gajah, sangat jelas siapa yang kalah. Populasi gajah menyusut 80 persen sejak 1930-an.

Baru-baru ini tujuh kawanan gajah ditemukan mati. Mereka diracun dekat perkebunan di Riau.

Ali Rizqi Arasyi dari WWF mengatakan, sangat sulit untuk mengadili mereka yang berada di balik pembunuhan seperti ini..

“Menurut saya pribadi sangat berat. Beberapa kali saya menemukan, bahkan membantu Taman Nasional menginvestigasi, otopsi di lapangan. Dari banyak kasus yang saya tangani sangat sedikit yang sampai pengadilan. Karena kurangnya bukti dari lokasi. Jadi dengan ancaman yang sangat tinggi, tetapi buat kita jangan sampai menyerah. Kalau kita pesimis membiarkan hal itu maka gajah akan akan hilang setiap tahunya.”

Sumarni melakukan pekerjaan ini agar cucunya masih dapat melihat gajah di alam liar. 

“Jadi ini bukan soal pekerjaan kakekmu dengan gajah dan ini adalah foto. Cucu saya harus bisa tahu gajah sendiri dan tahu seperti apa gajah itu. Jika punah, mereka hanya menangis ketika melihat foto-foto saya.”

• Indonesia
• patrol gajah
• penebangan liar
• Bukit Barisan
• Rebecca Henschke