INDONESIA

Panti Jompo Waria Pertama di Dunia

"Secara tradisional, orang lanjut usia di Indonesia dirawat oleh keluarga mereka sendiri."

Rebecca Henschke

Panti Jompo Waria Pertama di Dunia
Indonesia Waria House, Rebecca Henschke, Yulianus Rettoblaut

Secara tradisional, orang lanjut usia di Indonesia dirawat oleh keluarga mereka sendiri.

Tapi itu tidak terjadi pada komunitas waria yang berjumlah tiga juta orang di Indonesia.

Mereka kerap ditolak keluarga yang merasa malu pada mereka.

Banyak lansia waria yang sebelumnya bertahan hidup sebagai pekerja seks berakhir sebagai pengemis di jalanan.

Tapi sekarang, rumah untuk lansia waria tengah dibangun – kemungkinan ini juga yang pertama di dunia.

Rumah ini dibangun di pinggiran ibukota Jakarta.

Orang di balik pembangunan rumah ini adalah Yulianus Rettoblaut.

Kami berjalan di jalanan kotor menuju rumah kecil berwarna merah muda di ujung gang. Ini adalah wilayah pinggiran Jakarta.

Ada ayam berlarian di sana sini dan anak-anak bermain. Ini adalah jalanan yang sangat berdebu. Di sini sedang dibangun panti jompo pertama untuk waria di Indonesia.

Di jalan masuk dua waria yang lanjut usia menyambut saya. Gigi mereka sudah tanggal.

Di dalam ada Yulianus Rettoblaut yang sedang mematut diri di depan cermin. Teman lainnya melakoni ritual harian untuk berdandan – dengan alas bedak putih tebal, bulu mata palsu, lipstik merah menyala dan rambut palsu panjang yang digelung di belakang.

“Saya sendiri mengetahui saya waria itu sekitar saya kelas 5 SD. Dalam arti kebetulan saya tinggalnya di pedalaman Asmat tu di Papua pedalaman, jadi di sana tu kita sangat awam dengan waria. Dan tidak ada waria sama sekali. Kemudian perasaan saya tu ada sekitar umur 11 tahun mulai kelihatan saya kok tiba-tiba bisa seneng sama anak laki, ada apa, apa ini penyakit? Seperti itu. Sekitar umur 18 tahun, itu saya baru mengenal bahwa sebenarnya dunia itu ada, ada teman di kampus itu, ada juga yang seperti ini dan saya mulai tahu dan, dia lalu mengajak saya ayo kita punya kehidupan ada di Taman lawang. Saya bingung ternyata kemudian orang-orang seperti itu banyak dan mereka bisa dandan secantik itu.”

Q. Bagaimana perasaan Anda saat tahu Anda tidak sendiri?

“Saya merasa kehidupan seperti ini ada. Saya lepas dari beban karena kemudian saya lihat untuk menyenangi laki-laki kita tu bisa dikasih uang. Dengan kita make up seperti ini kamu akan cantik dan di kasih uang bukan hanya kepuasan. Dan saya tahu dunia seperti ini ada. Seperti itu”

Tidak mudah mencari kerja di Indonesia jika Anda hidup sebagai perempuan dalam tubuh laki-laki.

Ketika Yuli berusia 17 tahun, ia melakukan apa yang dilakukan waria lainnya – bekerja sebagai pekerja seks di jalanan. Menurut Yuli, itu adalah dunia yang kejam dan penuh kekerasan.

Dia seringkali disiksa dan tidak dibayar oleh kliennya. Mereka juga harus lari dari kejaran polisi atau kelompok Islam garis keras yang berusaha menggebuk mereka.

Saat itulah ia mengetahui kalau orangtuanya meninggal.

“Mereka dengar kalau saya sudah ikut-ikut pakai pakaian perempuan. Tadinya saya pikir saya mengecewakan orangtua dan ibu saya kemudian meninggal. Saya tidak pulang karena keluarga saya benci sama saya. Mereka bilang gara-gara perbuatan saya orangtua akhirnya meninggal. Saya akhirnya bertemu ibu setelah saya pulang dan kebetulan kakak saya seorang polisi. Dia juga marah dan aku mau ditembaknya. Dia mau tembak aku karena dia bilang saya memalukan keluarga. Dan kami keluarga nga ada keturunan seperti kamu. Kenapa kamu bisa jadi seperti ini. Karena orangtua berharap kamu bisa jadi anak baik karena selama sekolah dari SD sampai SMA aku punya prestasi juga tinggi, termasuk punya rangking tapi kemudian katanya   harapan orangtua musnah karena gara-gara aku jadi seorang waria.”

Q. Apakah kakak Anda benar-benar mau menembak?

“Aku ditaruh pistol di sini mau ditembak, saya lari. Tapi saya diam aja karena waktu itu kepala saya digundulin tapi kemudian saya lari lagi ke jakarta dan orangtua sudah meninggal, saya akan beci pada diri sendiri kemudian saya akan berjuang bagaimana caranya suatu waktu saya akan tunjukkan pada orang banyak terutama pada keluarga, bahwa walau saya seorang waria, saya juga bisa berbuat baik.”

Yuli adalah waria pertama yang memperoleh gelar Sarjana Hukum dari sebuah universitas Islam ternama. Dia sekarang sedang mengikuti pendidikan Pasca Sarjana Hukum.

Dia juga adalah pemimpin dari komunitas waria di Indonesia yang memanggilnya dengan sapaan “Mami Yuli”.

Sebagai ‘ibu’ dari komunitas ini, dia memutuskan kalau dia perlu menyiapkan sesuatu untuk waria yang memasuki usia senja – karena mereka ditolak oleh keluarga dan masyarakat.

“Orang akan merasa lebih takut karena tidak bisa berproduksi seperti waria-waria muda lain. Jadi mau kita juga bingung, Pemerintah mungkin juga bingung mau ditaruh di panti jompo yang mana, panti jompo perempuan atau panti jompo laki-laki, juga mereka bingung. Keluarga pasti menolak. Penderitaan mereka itu sangat sangat sedih...ketika mereka jadi tukang minta-minta di jalan, tidur di bawah jembatan, aku sedih melihat mereka seperti itu dan penanganan ini nga ada. Kalau aku mau menampung mereka, aku juga nga punya tempat yang jelas.”

Jadi dia sekarang merenovasi rumah dengan dua kamar miliknya, yang juga menjadi salon kecantikan.

Yuli mengajak saya ke belakang rumah...di sana pembangunan sedang berlangsung. Lantai kedua tengah dibangun dan kamar mandi diperluas.

Dia sudah punya 800 nama waria dalam daftar tunggu panti jompo ini.

Sekarang, ini adalah rumah bagi tiga waria lanjut usia.

Foto-foto mereka semasa muda sebagai model cantik  berjajar di tembok. Rak penuh dengan piala kontes kecantikan.

Yoti Maya berusia hampir 70 tahun dan sudah kehilangan hampir semua giginya. Dia ditolak keluarganya sendiri ketika ia masih remaja.

“Ibu buka pintu ada laki-laki di dalam, lagi peluk-pelukan. Ibu tu nga mau ribut dia bilang ke ayah saya. Bapak saya tahu bapak saya panggil, kumpul keluarga, kakak adik semua kumpul, dia bilang, saya nga mau lagi trima ini sebagai keluarga saya, bagaimanapun saya harus usir dari rumah, lu mau senang, lu mau hidup, lu mau mati, itu urusan lu. Kamu keluar dari rumah aku. Usia 16-17 tahun saya keluar dari rumah...nangis saya itu... karena saya masih muda ya dan nga punya pekerjaan tetap...gimana hidup di Jakarta...tapi yah saya terima ajah.”

Yoti akhirnya bekerja sebagai koki di kapal dan telah bepergian keliling Asia. Dia kini menjadi juru masak di panti jompo ini.

Rumah ini juga menyediakan pelatihan bagi waria lansia sehingga mereka punya keterampilan untuk hidup mandiri.

Dan baru-baru ini saudara laki-laki Yuli mengunjungi panti jompo ini. Dulu, sang abang pernah mengancam untuk menembak Yuli.

“Dan dia tidak masuk hanya mengelilingi pekarangan rumah ini dan dia nangis,  aku nga nyangka katanya kalau kamu bisa berubah jadi baik katanya. Nga papa katanya kamu jadi seorang waria katanya tapi kamu jadi panutan untuk bisa mengakomodir teman-teman kamu. Kami senang keluarga katanya. Tapi kamu kalau jadi PSK jalanan kami nga mau katanya...terus dia bilang bahwa yang udah terjadi terjadi tapi aku sebagai kakak juga bangga ... seperti itu, kemudian, setelah beberapa hari setelah dikabarin bahwa saya sudah lulus dan saya juga datang juga dan akhirnya pas acara selamatan dia juga hadir. Tapi dia juga nga bisa ngomong apa-apa karena dia cuma bisa menangis dan nga lama lagi dia meninggal. Dan saya juga ke sana. Dia cuma titip pesan bahwa aku harus jadi orang baik.”


  • Indonesia Waria House
  • Rebecca Henschke
  • Yulianus Rettoblaut

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!