Article Image

BERITA

Menangkal Radikalisme Lewat Kesenian

Rabu 11 Des 2019, 14.35 WIB

Pertunjukan wayang dalam pagelaran Njujug Tajug di Cirebon, Jawa Barat. (Foto: KBR/ Taufik)

Cirebon adalah salah satu zona merah radikalisme di Jawa Barat. Nahdlatul Ulama setempat memakai kesenian tradisional untuk menangkal penyebaran paham radikalisme. Jurnalis KBR Astri Yuana Sari melihat acara Njujug Tajug di Cirebon.

 

KBR, Cirebon- Tarian Ronggeng Bugis membuka pertunjukan malam itu di Desa Bulak, sekitar 1 jam berkendara dari pusat kota Cirebon, Jawa Barat. Ratusan warga berkerumun memenuhi bagian depan panggung.

Di atas panggung, 9 penari laki-laki berpenampilan seperti perempuan. Mereka menampilkan gerakan-gerakan jenaka, seperti berpura-pura jatuh. Menurut pelatih tari Doddie Yulianto, tarian ini sangat erat kaitannya dengan sejarah Cirebon.


"Tari ini justru tarian yang menceritakan tentang pasukan telik sandi ataupun intelijen atau spionase era Sunan Gunung Jati yang diterjunkan dalam berbagai peristiwa penting yang pernah dilewati dalam sejarah Cirebon. Seperti penaklukan Banten, penaklukan Sunda Kelapa, Talaga, dan juga daerah Rajagaluh Majalengka," kata Doddie.


Dalam tarian ini ada beragam gerakan. Misalnya gerakan ala intel, seperti menutup mulut atau pasang telinga baik-baik. Kata Doddie, gerakan ini menggambarkan bagaimana seharusnya para pendakwah dan aktivis toleransi menyampaikan pesan damai di tengah-tengah masyarakat.


“Bagaimana telik sandi bisa mampu masuk ke dalam masyarakat, melebur. Bahkan semua nggak merasa bahwa itu sebagai pasukan intelijen. Nah kemampuan itu yang harusnya para pendakwah, para pegiat-pegiat toleransi, pegiat deradikalisasi menggunakan seperti itulah filosofinya,” ujarnya.

Aziz Hakim Syaerozi mengatakan, jika dilihat dari sejarah, Cirebon justru menjadi daerah yang sangat toleran. Namun tak bisa dipungkiri, Kota Cirebon yang strategis di pesisir utara Jawa membuat banyak orang singgah. Akibatnya, Cirebon rentan terhadap masuknya gagasan radikalisme.

“Kalau bicara soal sejarah maka tidak ada alasan Cirebon ini radikal, tidak ada alasan Cirebon ini intoleran. Karena para kesultanan kita terutama Sunan Gunung Jati, itu sudah memberikan contoh di tengah-tengah masyarakat Cirebon bahwa antar masyarakat baik perbedaan agama, suku maupun bahasa, ini bukan menjadi persoalan,” jelasnya.


Menurut Aziz, sikap kemanusiaan bisa dimunculkan lagi lewat kesenian tradisional.


“Jika mereka mencintai budaya, kemudian memahami pesan-pesan budaya dan seni itu, maka akan lahir masyarakat yang sangat terbuka, masyarakat yang menghargai perbedaan, dan masyarakat yang menghargai pluralitas,” kata Aziz. 

<tr>

	<td><b>Reporter</b></td>


	<td><b>:</b></td>


	<td><b>Astri Yuanasari<span id="pastemarkerend"></span></b><br>
</tr>


<tr>

	<td><b>Editor</b></td>


	<td><b>:</b></td>


	<td><b>Friska Kalia<br>
</tr>