HEADLINE

Tolak Eksepsi Syafruddin, Hakim Tipikor Putuskan Pemeriksaan Korupsi BLBI Lanjut

Tolak Eksepsi Syafruddin, Hakim Tipikor Putuskan Pemeriksaan Korupsi BLBI Lanjut

KBR, Jakarta - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menolak keberatan atau eksepsi tim penasihat hukum terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung. Putusan sela itu disampaikan Ketua Majelis Hakim, Yanto dalam persidangan perkara korupsi terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

Yanto menyatakan, surat dakwaan penuntut umum KPK tanggal 2 Mei 2018 telah memenuhi syarat formil dan materiil. Surat dakwaan tersebut sah menurut hukum serta dapat diterima sebagai dasar pemeriksaan perkara ini.

"Menyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara atas nama terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung," kata Yanto saat membacakan amar putusan sela di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (31/5/2018).

"Memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara atas nama terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung," sambungnya.

Dalam pertimbangannya, mejelis hakim menyatakan tidak sependapat dengan keberatan penasihat hukum terdakwa yang menyatakan Pengadilan Tipikor tidak berwenang mengadili perkara ini karena objek yang dipersalahkan merupakan sengketa Tata Usaha Negara (TUN). Menurut hakim Anwar, Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agunggung RI Nomor 4 Tahun 2014 menyatakan Pengadilan TUN baru berwenang memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara sebelum ada proses pidana.

"Keberatan penasehat hukum terdakwa tidak memiliki alasan hukum dan harus dinyatakan tidak dapat diterima," ujar Anwar.

Majelis hakim juga tidak sependapat dengan keberatan penasihat hukum terdakwa yang menyebut kewenangan penuntutan pidana dalam perkara ini daluwarsa pada 25 Mei 2017. Anwar menjelaskan, perkara ini tidak dapat dikatakan daluwarsa sebab objek perkara terjadi saat terdakwa menjabat Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menerbitkan SKL untuk pemegang saham BDNI pada 2004.

Dalam perkara ini, Syafruddin didakwa melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerugian negara Rp 4,58 triliun terkait perkara penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Jaksa Penuntut Umum KPK menyatakan, kerugian negara itu lantaran Syafruddin memperkaya pemegang saham pengendali PT BDNI, Sjamsul Nursalim sebesar Rp4,58 triliun.

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/05-2017/skandal_surat_lunas_blbi__kpk_selidiki_keterlibatan_eks_pejabat_kksk_lain/90035.html">Skandal Surat Lunas BLBI, KPK Selidiki Keterlibatan Eks Pejabat KKSK Lain</a>&nbsp;<br>
    
    <li><a href="http://kbr.id/berita/05-2017/kemenkeu_masih_pikir_pikir_buka_nama_22_pengutang_blbi/90136.html"><b>Kemenkeu Masih Pikir-pikir Buka Nama 22 Pengutang BLBI</b></a>&nbsp;<br>
    

Poin-poin Eksepsi

Pada sidang Senin (21/5/2018) pekan lalu, tim kuasa hukum Syafruddin Arsyad Temenggung menyampaikan keberatan atau eksepsi atas dakwaan jaksa KPK. Saat itu, Yusril Izha Mahendra selaku kuasa hukum mengatakan, surat dakwaan jaksa yang menguraikan perbuatan hukum kliennya keliru dan tidak tepat. Menurutnya, jaksa KPK hanya mengonstruksikan perbuatan sejak 1998 seolah-olah dilakukan oleh Syafruddin. Padahal kata dia, kliennya baru menjabat sebagai kepala BPPN pada 22 April 2002.

"Sehingga akan sangat berlebihan jika menempatkan rangkaian hukum terdakwa seolah-olah sudah terjadi sejak 1998. Terlebih lagi dalam surat dakwaan penuntut umum telah salah menempatkan posisi terdakwa yang menjabat sekretaris KKSK seakan-akan mempunyai posisi dominan yang dapat mengatur dan mengarahkan para menteri yang menjadi Komite Sektor Kebijakan Keuangan atau KKSK," tutur Yusril.

Yusril menguraikan, perbuatan hukum yang didakwakan kepada Syafruddin padahal saat itu kliennya belum menjabat Kepala BPPN. Di antaranya penempatan PT Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dalam pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 14 Februari 1998, pemberian Fasilitas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada periode 1997 hingga keputusan KKSK No. KEP.02/K.KKSK/03/2001 tentang Kebijakan Penyehatan Perbankan dan Restrukturisasi Utang Perusahaan berdasarkan hasil rapat KKSK pada 29 Maret 2001.

"Kronologi kebijakan Program PKPS, yang merupakan program kebijakan Pemerintah Republik Indonesia jauh sebelum Terdakwa menjabat sebagai Ketua BPPN," imbuhnya.

Kata Yusril, dakwaan jaksa KPK yang menyatakan Syafruddin yang mengusulkan pengalihan debitur dari ligitasi ke penjualan adalah keliru. Ia menganggap, keputusan itu merupakan kebijakan KKSK yang harus dijalankan BPPN.

Hal lain yang dicantumkan kuasa hukum dalam berkas eksepsi, adalah kewenangan Pengadilan Tipikor memeriksa dan mengadili dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI. Yusril beranggapan, kasus ini masuk ke ranah peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Sehingga dalam permohonan eksepsinya, pihaknya meminta hakim mengabulkan seluruh keberatan termasuk penjelasan soal kewenangan mengadili perkara ini.

"Dua, (memohon kepada majelis hakim yang mulia agar berkenan) menyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara a quo. Tiga, menyatakan surat dakwaan penuntut umum error in persona," ucap Yusril saat membacakan berkas eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/5/2018).

red

Petugas saat menyusun uang ganti rugi korupsi BLBI dari terpidana Samadikun Hartono di Gedung Bank Mandiri, Jakarta, Kamis (17/5). (Foto: ANTARA/ Reno E)

Yusril mengatakan, dakwaan jaksa KPK tidak dapat diterima karena termasuk ruang lingkup hukum perdata. Kemudian, dia melanjutkan, subjudice perkara pidana yang didakwakan oleh KPK sedang diadili dalam perkara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ditambah lagi, kata dia, hak menuntut KPK sudah daluwarsa sebagaimana ketentuan pasal 78 KUHP.

Saat itu, Yusri selaku penasihat hukum juga memohon ke majelis hakim agar dakwaan jaksan KPK dinyatakan batal demi hukum. Sebab dia menganggap, dakwaan KPK tidak jelas, tidak cermat dan tidak lengkap.

Melalui pembacaan eksepsi atau nota keberatan tersebut Yusril juga menyampaikan permintaan agar majelis hakim memerintahkan pembebasan kliennya dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Jakarta Timur cabang KPK. Ia juga memohon agar harkat dan martabat Syafruddin selaku terdakwa dikembalikan seperti semula.

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/08-2017/kpk_yakin_menang_gugatan_praperadilan_eks_kepala_bppn/91450.html">Gugatan Praperadilan Eks Kepala BPPN Syafruddin Temenggung</a>&nbsp;<br>
    
    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/04-2018/menuai_protes__kpk_tunda_perpanjangan_masa_kerja_penyidik_polri/95748.html">Polemik Perpanjangan Penyidik Polisi di KPK yang Usut Perkara BLBI</a>&nbsp;<br>
    


Eksepsi Menyalin Materi Praperadilan

Sepekan setelah sidang eksepsi Syafruddin tersebut, Jaksa Penuntut Umum KPK menyampaikan tanggapan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (28/5/2018). Jaksa KPK Haerudin mengungkapkan, sebagian besar materi keberatan penasihat hukum Syafruddin hanya menyalin materi permohonan praperadilan yang sebelumnya ditolak hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. 

Sehingga jaksa menilai, materi keberatan itu mestinya tidak dapat diterima oleh hakim Tipikor.

"Melihat dan mencermati materi eksepsi atau keberatan penasihat hukum terdakwa sebagian besar materinya telah memasuki pokok perkara dan hanya pengulangan atau hampir sama dengan materi permohonan praperadilan yang telah diajukan oleh terdakwa ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," jelas Haerudin.

Jaksa KPK menerangkan, hakim praperadilan kala itu menolak permohonan Syafruddin dengan pertimbangan bahwa penetapan tersangka oleh KPK memenuhi dua alat bukti permulaan yang cukup. Atas dasar putusan itu, maka penetapan Syafaruddin sebagai tersangka dinyatakan sah secara hukum.

Bagian pendahuluan materi keberatan atau eksepsi Syafruddin menurut Jaksa KPK telah memasuki pokok perkara. Sehingga, jaksa KPK merasa tak perlu menanggapinya sebab di luar lingkup eksepsi sebagaimana diatur pasal 156 ayat (1) KUHAP.

Berkas eksepsi Syafruddin menyebutkan enam poin keberatan atas dakwaan KPK. Pada bagian pendahuluan, penasihat hukum menyinggung soal dakwaan KPK terkait peran Syafruddin selaku pejabat BPPN dalam memperkaya pemegang saham pengendali PT BDNI, Sjamsul Nursalim sebesar Rp4,58 triliun.

Atas dasar itulah pada jawaban eksepsi, Jaksa KPK memohon ke majelis hakim untuk menolak seluruh keberatan Syafruddin dan melanjutkan pemeriksaan perkara.

"Kami mohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenaan memutuskan satu, menyatakan keberatan atau eksepsi tim penasehat hukum terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung dinyatakan ditolak atau setidaknya tidak dapat diterima," kata Jaksa KPK Iskandar Putra di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (28/5/2018).

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/05-2017/rizal_ramli__banyak_obligor_blbi_hidup_mewah/89995.html">Rizal Ramli: Banyak Obligor BLBI Hidup Mewah</a>&nbsp;<br>
    
    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/04-2017/punya_tersangka_baru__kpk_siapkan_2_strategi_rebut_aset_negara_dari_korupsi_blbi/89889.html">KPK Siapkan Strategi Rampas Aset Negara dari Korupsi BLBI</a>&nbsp;</b><br>
    

Saat itu Jaksa KPK juga sudah menyampaikan tak bersepakat dengan pandangan eksepsi yang mempersalahkan objek sengketa. Dan, menganggap Pengadilan Tipikor tak berhak mengadili dugaan korupsi SKL BLBI tersebut. Menurut jaksa, dalil tersebut tidak dapat diterima karena surat dakwaan terhadap Syafruddin tidak mengacu ke surat Keputusan Tata Usaha Negara.

Dengan argumen itu, Jaksa KPK menilai penasihat hukum justru tak cermat sebab menyebut dakwaan termasuk lingkup hukum perdata. Jaksa KPK meyakini perbuatan Syafruddin merupakan tindak pidana korupsi.

"Hukum pidana adalah berdasarkan atas kepentingan masyarakat, sehingga bersifat hukum publik," tukas salah satu jaksa.

Soal dalih daluwara kasus, jaksa KPK menjelaskan, waktu pidana kasus ini sesuai surat dakwaan alternatif kesatu maupun kedua pada 21 Oktober 2003, 29 Oktober 2003, 13 Februari 2004 dan 26 April 2004. Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 78 ayat (1) angka 4, tenggat penuntutan perkara ini jatuh pada 22 Oktober 2021.

Atas dasar itu, anggapan daluwarsa kasus yang dibangun penasihat hukum tak dapat diterima.



Editor: Nurika Manan

  • BLBI
  • Korupsi BLBI
  • Tipikor
  • KPK
  • Pengadilan Tipikor

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!