HEADLINE

Kuasa Hukum Aktivis AMAN Minta Polisi SP3-Kan Kasus Kliennya

Kuasa Hukum Aktivis AMAN Minta Polisi SP3-Kan Kasus Kliennya

KBR, Jakarta - Kuasa hukum dua aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Adlun Fikri dan Yunus Al Fajri mendesak polisi menghentikan kasus kliennya. Meski demikian, Maharani Salindeho, selaku kuasa hukum mereka, mengaku siap menempuh upaya hukum jika memang kepolisian akan melanjutkan kasusnya.

"Kita kan melihat dulu materinya seperti apa, kalau tidak ada sinyal SP3 dari polisi, otomatis kita akan mengupayakan langkah hukum lainnya agar status hukumnya jelas. Misalnya kita pra peradilan, karena kan kita sudah siapkan pra peradilan tapi ada ini (penangguhan penahanan-red) makanya kita ini dulu, nanti kemudian kita mendesak dikeluarkan SP3. Kalau polisi tidak mau, ya kita tempuh pra peradilan untuk menghentikan kasusnya," papar Maharani kepada KBR (15/5/2016)   


Sementara itu kuasa Hukum Adlun yang lain, Yahya Mahmud yang juga Ketua Perhimpunan Pembela AMAN Maluku Utara mengaku optimistis kliennya akan bebas. Alasannya terdapat sejumlah kejanggalan dalam proses penangkapan Adlun Fikri dan rekannya Yunus Al Fajri yang dituduh menyebarkan Komunisme, Marxisme dan Leninisme di muka publik.


"Ada banyak kejanggalan misalnya pada saat penangkapan itu kejanggalan bagi kami karena penangkapan, penyitaan dan penggerebegan itu bukan dilakukan oknum kepolisian tapi TNI AD, yang kedua adalah ketika pada saat ditangkap mereka berdua tidak dalam melakukan misalnya mengumpulkan orang untuk mensosialisasikan ajaran Marx dan sebagainya, tidak memakai atribut yang ada  logo palu arit. oleh karena itu kami meyakini apa yang dituduhkan ini tidak benar.


Adlun Fikri dan Yunus Al Fajri dibebaskan dari penjara tadi sore setelah penangguhan penahanannya dikabulkan polisi. Maharani menyebutkan alasan permohonan penangguhan penahanan kliennya adalah karena status mereka sebagai mahasiswa yang harus menjalani kuliah. Namun pihaknya tak memberi tenggat penangguhan penahanan dan syarat lainnya untuk dikabulkan pihak kepolisian.


"Kuliah, karena mereka mahasiswa mereka harus kuliah apalagi yang satu mau nyusun skripsi makanya kita ajukan penangguhan, alasan itu yang kita pakai. Sampai berapa lama dan ada jaminan? Tidak ada. Di penangguhan kita tidak minta sampai berapa lama, jadi memang penangguhan penahanan saja dengan alasan mau sekolah. Kalau lain-lain syaratnya juga tidak ada kami tidak ajukan syarat mengulangi tindak pidana tidak, kami tidak masukkan syarat-syarat itu," ungkapnya


Kodim 1501 Ternate menangkap empat aktivis AMAN. Keempatnya lantas diserahkan ke Polres Ternate untuk menjalani pemeriksaan dan interogasi. Dalam penangkapan ini, Kodim juga merampas lima buku milik mereka untuk dijadikan alat bukti. Di antaranya, buku Nalar yang memberontak (Filsafat Marxisme) karya Alan Woods dan Ted Grant dan buku investigasi Tempo mengenai Lekra dan Geger 1965 yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).


Terkait aksi sweeping buku itu, praktisi hukum Taufik Basari telah berkomentar bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) tak berwenang menyita berbagai buku sejarah mengenai tragedi pasca 1965. Menurut dia, penegakan hukum atau penyitaan hanya bisa dilakukan Kepolisian dan Kejaksaan.

Editor: Sasmito Madrim 

  • penangkapan aktivis AMAN
  • kuasa hukum
  • PKI
  • polisi Maluku

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!