HEADLINE

Ini Alasan KPK Tolak Permohonan Justice Collaborator Novanto

"KPK menilai, Novanto belum memberikan keterangan penting mengenai kasusnya, juga belum mengungkap pelaku lain yang lebih besar. Selain itu, Novanto juga belum mengembalikan seluruh hasil korupsinya."

Ini Alasan KPK Tolak Permohonan Justice Collaborator Novanto
Terdakwa Kasus Korupsi Pengadaan KTP elektronik Setya Novanto mendengarkan pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (29/3). (Foto: ANTARA)

KBR, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak permohonan Setya Novanto mejadi justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam dugaan korupsi e-KTP. Hal ini disampaikan jaksa KPK, Abdul Basir saat membacakan tuntutan terhadap terdakwa megakorupsi pengadaan proyek senilai total hampir Rp5,9 triliun di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (29/3/2018).

Basir menjelaskan, bekas Ketua DPR itu belum memenuhi persyaratan utama sebagai justice collaborator sesuai peraturan. Yakni yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator).

"Dengan menggunakan parameter-parameter tersebut dengan disandingkan keterangan yang diberikan terdakwa diberikan persidangan, penuntut umum berkesimpulan terdakwa belum memenuhi kualifikasi sebagai justice collaborator sehingga penuntut umum belum dapat menerima permohonan terdakwa di atas," tutur Basir.

KPK menilai, Novanto belum memberikan keterangan penting mengenai kejahatan yang diperbuat dan mengungkap pelaku lain yang lebih besar. Selain itu, politikus Golkar itu juga belum mengembalikan seluruh hasil korupsinya.

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/terkini/03-2018/jaksa_kpk_sebut_korupsi_e_ktp_libatkan_pelbagai_pihak_di_luar_negeri/95564.html">Korupsi e-KTP Libatkan Pelbagai Pihak di Luar Negeri</a>&nbsp;<br>
    
    <li><a href="http://kbr.id/terkini/03-2018/sidang_tuntutan_setya_novanto__jaksa__perkaya_diri_hingga_100_m/95566.html"><b>Sidang Tuntutan, Jaksa Sebut Setnov Perkaya Diri Hingga Rp100 M</b></a>&nbsp;<br>
    

Pada poin kesembilan Sema Nomor 4 tahun 2011 disebut, pedoman pemberian justice collaborator di antaranya saksi pelaku bukanlah aktor utama dan mengakui perbuatannya, menyerahkan bukti ataupun keterangan yang membantu jaksa ataupun penyidik dalam mengungkap perkara dan, mengembalikan aset atau hasil tindak pidana.

Namun begitu jaksa KPK masih membuka kesempatan bagi Novanto jika hendak mengajukan diri lagi menjadi justice collaborator. Kata Basir, jaksa akan mempertimbangkan kembali permohonan Novanto.

"Meski terdakwa belum memenuhi kualifikasi sebagai justice collaborator namun penuntut umum dalam menentukan berat ringannya pidana menggunakan pertimbangan secara komprehensif."

Tuntutan KPK

Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum KPK menuntut Setya Novanto dengan pidana penjara selama 16 tahun dan denda Rp1 miliar subsider kurungan penjara selama 6 bulan. Jaksa menilai, bekas ketua DPR itu terbukti memperkaya diri sendiri dan orang lain dengan memanfaatkan kewenangannya.

Surat tuntutan jaksa menerangkan, fakta hukum persidangan mengungkap bahwa Novanto menyalahgunakan kewenangannya sebagai anggota DPR sekaligus Ketua Fraksi Golkar, dengan mengendalikan dan mengkoordinir anggotanya yang tersebar di setiap komisi dan alat kelengkapan dewan.

"Terdakwa telah terbukti secara secara sah dan meyakinkan menurut hukum, bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata jaksa saat membacakan salinan tuntutan Novanto. 

Perbuatan tersebut diperkirakan merugikan negara Rp2,3 triliun dari total nilai proyek hampir Rp5,9 triliun.

red

Setya Novanto memasuki ruangan untuk mengikuti sidang lanjutan pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (29/3). (Foto: ANTARA)

Novanto juga terbukti memperkaya diri sendiri sebanyak 7,4 juta dolar Amerika Serikat. Selain itu, ia juga terbukti menerima sebuah jam tangan merek Richard Mille seri RM 011 seharga Rp135 ribu dolar Amerika Serikat. 

Karenanya Jaksa KPK menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sejumlah 7.435.000 dolar Amerika Serikat dikurangi uang yang telah dikembalikan sebesar Rp5 miliar. Uang pengganti itu harus dibayarkan selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Kata Jaksa KPK, jika Novanto tak bisa membayar hingga tenggat yang ditentukan maka harta bendanya akan disita dan dilelang hingga mencukupi uang pengganti. Bila harta benda itu masih juga tidak cukup, maka Novanto akan dipidana tiga tahun penjara.

Dalam pertimbangan, jaksa menilai perbuatan Novanto tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi. Kemudian perbuatan Novanto berakibat masif terhadap pengelolaan data kependudukan nasional. Jaksa juga menilai perbuatan Novanto menyebabkan kerugian negara yang besar. Novanto juga dinilai tidak kooperatif selama proses penyidikan dan penuntutan.

Sementara hal-hal yang meringankan antara lain terdakwa belum pernah dihukum dan menyesali perbuatannya. Selain itu, Novanto dianggap bersikap sopan di persidangan.

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/01-2018/gamawan_akui_adiknya_beli_lahan_pemenang_e_ktp/94764.html">Gamawan Akui Adiknya Beli Lahan Pemenang e-KTP</a>&nbsp;<br>
    
    <li><a href="http://kbr.id/berita/01-2018/kasus_e_ktp__saksi__proyek_ini_milik_tiga_partai_besar/94619.html"><b>Kasus e-KTP, Saksi: Proyek Ini Milik 3 Partai Besar</b></a>&nbsp;<br>
    

KPK Diminta Tetap Usut Aliran ke 2 Menteri Jokowi

Meskipun permohonan justice collaborator Novanto ditolak, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi(Pukat) UGM Fariz Fahrian berpendapat, KPK tetap harus mendalami pernyataan soal aliran uang korupsi ke Puan Maharani dan Pramono Anung. Menurutnya, penyidik perlu memeriksa dua menteri kabinet Joko Widodo tersebut guna memperjelas tuduhan Novanto.

"Dia (Novanto) tidak melihat, mendengar langsung pemberian itu. PR penyidik KPK untuk menindaklanjuti apa benar hal itu terjadi? Dan itu harus dikonfrontir dengan saksi yang sudah diperiksa KPK," ujar Fariz saat dihubungi KBR, Kamis (29/3/2018).

Fariz mendorong KPK mengecek pernyataan itu dengan kesaksian para saksi di kasus KTP elektronik. Sebelumnya, pada berkas dakwaan pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto, ada puluhan nama anggota DPR 2009-2014 yang disebutkan dalam dakwaan. 

Meski begitu, dia menilai pernyataan Novanto dalam persidangan tidak bisa dijadikan alat bukti karena ia tidak menyaksikan langsung kejadian itu. Pengusaha Made Oka Masagung juga sudah membantah keterangan Novanto.

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/03-2018/disebut_terima_duit_e_ktp__puan__yang_disampaikan_novanto_tak_berdasar/95505.html">Disebut Terima Duit e-KTP, Ini Tanggapan Puan Maharani</a>&nbsp;<br>
    
    <li><a href="http://kbr.id/berita/03-2018/kasus_e_ktp__pramono__novanto_pernah_minta_tolong_soal_izin_presiden/95480.html"><b>Kasus e-KTP, Pramono: Novanto Pernah Minta Tolong soal Izin Presiden</b></a>&nbsp;<br>
    

Sebelumnya pada persidangan, bekas Ketua DPR itu menyebut Puan dan Pramono menerima uang sebesar USD 500 ribu dalam proyek pengadaan KTP elektronik. Novanto mengaku mendapatkan informasi tersebut saat bertemu Andi Narogong, Made Oka Masagung, serta Irvanto Hendra Pambudi.

Pernyataan itu disinyalir digunakan Setya Novanto sebagai 'amunisi' agar permohonan justice collaborator-nya dikabulkan. Pukat menilai sejak awal politikus Golkar itu memang tidak layak menjadi justice collaborator

"Dia mengakui menerima pemberian jam dari salah satu kontraktor di kasus e-KTP, tapi kemudian dia juga menolak dikatakan menerima suap."

Selain itu, rekam jejak yang penuh kontroversi pada awal-awal penyelidikan menurut Fariz juga memperberat posisi Novanto. Setya Novanto berulangkali menghindar dari pemeriksaan KPK dengan alasan sakit hingga berakhir pada drama kecelakaan mobil.




Editor: Nurika Manan

  • KPK
  • Setya Novanto
  • justice collaborator
  • korupsi e-KTP
  • aliran duit e-KTP
  • e-KTP
  • Jaksa Penuntut Umum KPK

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!