Empat belas orang itu bersaksi sudah di Banda Aceh. Lega, kata mereka setelah mengungkap peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh periode 1976 sampai 2005. Ini momen bersejarah karena ini adalah Dengar Kesaksian pertama di tanah air. Ini adalah mekanisme non-yudisial; upaya mengungkap kebenaran, mengakui keberadaan korban dan merekomendasikan pemulihan bagi mereka. Di sini kunci pentingnya: ada pengakuan terhadap apa yang terjadi pada korban.
Secara nasional, hanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh yang bisa berlangsung. Sebab keberadaan KKR hilang begitu Mahkamah Konstitusi ketok palu pada tahun 2006: Undang-undang KKR dianggap tidak menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Sesungguhnya memberi ruang kepada korban adalah suatu langkah yang berarti. Jadi upaya penyembuhan luka masa lalu yang mereka tanggung berpuluh tahun. Pasti menyakitkan, tapi ini bagian dari ikhtiar mencari dan mengungkap kebenaran.
Tapi langkah tak boleh berhenti di mendengarkan kesaksian mereka. Karena ada hak korban yang mesti segera dipulihkan oleh negara, yang gagal melindungi mereka dari kekerasan. Ini jadi pembelajaran penting bangsa ini -- untuk mampu menatap pelanggaran HAM masa lalu, berbuat sesuatu - apa pun itu - dan memastikan ini tak terulang lagi.