OPINI

Hari Toleransi Internasional

Atraksi budaya di Hari Toleransi Internasional

Dunia baru saja merayakan Hari Toleransi Internasional 16 November lalu, dan kita masih harus tertunduk malu. Masih banyak sekali kasus intoleransi yang menghantui kita. Mulai dari perusakan pura di Lumajang, ancaman bom di klenteng di Karawang, sampai persekusi biksu di Tangerang. Tingkat intoleransi masyarakat kita terhadap kelompok yang berbeda seperti LGBT  pun begitu tinggi. Survei demi survei makin memperlihatkan wajah kita yang begitu takut akan perbedaan. 

Hari Toleransi Internasional dicetuskan oleh Badan PBB untuk Kebudayaan UNESCO  yang menyebut, toleransi sebagai cara untuk memunculkan rasa hormat, penerimaan dan penghargaan terhadap budaya dunia yang beragam. Karena keberagaman lah yang membuat kita menjadi manusia. Karenanya toleransi perlu dibangun dan dijaga lewat pendidikan, penegakan hukum sampai menghentikan stereotip negatif terhadap kelompok yang berbeda. Dari situ saja kita sudah tahu, nilai kita jeblok di ketiga aspek tersebut. 

Tahun politik membuat nilai agama bakal banyak dipakai. Para caleg bakal berlomba tampil religius dengan harapan bisa menarik lebih banyak simpati. Seolah agama jadi penentu, ketimbang visi, misi dan rencana kerja si caleg di masa mendatang. Urusan agama itu vertikal dengan Tuhan. Jangan sampai kita terpancing dan berseteru untuk sesuatu yang sifatnya pribadi. Untuk urusan Pemilu, kita mesti fokus pada tawaran dari para caleg dan calon pemimpin negara ini. 

 

  • Hari Toleransi Internasional
  • UNESCO
  • intoleransi
  • LGBT

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!