EDITORIAL

Republik, Jangan Putus Harapan

"Para penegak hukum yang korup, untuk alasan apa pun, harus dimasukkan sebagai kejahatan luar biasa. Dan karena korupsi adalah juga kejahatan luar biasa, wajar kalau hukuman yang ditimpakan pun dua atau tiga kali lipat dari kejahatan orang-orang biasa."

KBR68H

Republik, Jangan Putus Harapan
Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, korupsi penegak hukum, hukuman berat bagi koruptor

Albert Einstein, ilmuwan eksentrik penemu teori relativitas itu, pernah berujar:  belajar dari kemarin, hidup untuk hari ini, harapan untuk esok dan yang terpenting jangan pernah berhenti bertanya.

Tapi politisi di Indonesia tampaknya tak pernah belajar dari Einstein.
Pekan kemarin, republik ini heboh akibat  Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar ditangkap KPK. Akal sehat kita mendadak berhenti. Bagaimana mungkin, lembaga sangat terhormat seperti MK pun ternyata tak terkecuali dalam skandal korupsi?

Ketika Ketua Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas Rudi Rubiandini dicokok KPK karena menerima suap, Akil Mochtar sempat berkomentar di akun twitternya. Akil menulis, kasus yang menimpa Rudi itu menyedihkan sekaligus mempermalukan bangsa.

Tapi, mulutmu adalah harimaumu. Tak perlu berbilang tahun, Akil Mochtar pun ditangkap oleh lembaga yang sama. Dan Akil jauh lebih mempermalukan bangsa dibanding kasus Rudi – lepas dari besaran nilai suap yang mereka terima. Pertama, Akil adalah ketua sebuah lembaga peradilan tertinggi yang memiliki mandat menjaga pelaksanaan konstitusi republik. Kedua, kasus Akil meledak justru ketika mata dunia internasional sedang tertuju ke Indonesia menjelang pelaksanaan sidang Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bali.

Tertangkapnya Akil Mochtar menggenapi seluruh skandal korupsi yang menimpa tiga pilar demokrasi: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.  Kasus Akil seakan menyempurnakan busuknya lembaga penegakan hukum di Indonesia.

Betapa tidak, kita tahu di kepolisian banyak perwiranya memiliki rekening gendut. Toh hingga kini tak ada pengusutan asal-usul uang berlimpah yang ada di rekening mereka. Yang jelas, dalam kasus korupsi di Korlantas, petinggi Polri tak lagi bisa berkilah ketika Irjen Djoko Susilo ditangkap KPK.

Begitu pula di lembaga kejaksaan dan kehakiman, tak sedikit jaksa dan hakim yang harus berurusan dengan hukum karena terima suap. Anda tinggal ketik kata kunci tertentu di mesin pencari, maka terpampanglah berbagai kasus kebusukan para penegak hukum itu.

Ketika keadilan begitu murah diperjualbelikan, harapan apa lagi yang masih tersisa bagi sebagian besar rakyat?

Itu sebab, hukuman bagi para penegak hukum yang menyalahgunakan wewenangnya mestinya jauh lebih berat ketimbang orang biasa. Kejahatan yang dilakukan orang yang melek hukum atau orang yang memiliki kewenangan hukum, tak boleh dianggap sebagai kejahatan biasa.

Para penegak hukum yang korup, untuk alasan apa pun, harus dimasukkan sebagai kejahatan luar biasa. Dan karena korupsi adalah juga kejahatan luar biasa, wajar kalau hukuman yang ditimpakan pun dua atau tiga kali lipat dari kejahatan orang-orang biasa.

Seperti kata Einstein, kita harus belajar dari pengalaman hari kemarin, agar kita masih bisa memiliki harapan untuk hari esok. Kita tak boleh bosan untuk bertanya, mendesak bahkan berteriak, sampai korupsi benar-benar hilang dari republik ini.

  • Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar
  • korupsi penegak hukum
  • hukuman berat bagi koruptor

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!