EDITORIAL

Florence

Florence

Media sosial bisa membuat siapa pun jadi terkenal – bahkan dengan cara yang salah sekali pun. Kali ini, lampu sorot mengarah ke Florence Sihombing. Sebelum kicauannya di Path, Florence bukan siapa-siapa. Kini semua tahu Florence: si penyerobot antrean di SPBU Yogyakarta.

Florence juga jadi sorotan karena dianggap menghina Yogyakarta di akun Path miliknya. Lantaran disebut “tak berbudaya”, LSM Jangan Khianati Suara Rakyat alias Jatisura berang. Mereka langsung melaporkan Florence ke Polisi. Terhitung Sabtu lalu, polisi menahan Florence berbekal UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Florence sebetulnya sudah minta maaf. Itu dianggap tak cukup lantaran Florence dianggap tidak tulus. Padahal ‘tulus’ itu soal persepsi, soal rasa, yang sangat subyektif sifatnya. Bicara soal maaf, kita ingat juga kasus Dinda yang ngomel soal ibu hamil di kereta. Karena cuitannya, Dinda habis-habisan di-bully di media sosial, dia minta maaf, lalu semua baik-baik saja. Berbeda dengan kasus Florence yang kini harus berurusan dengan polisi. (Baca juga: Mengaku Salah, Ini Permintaan Florence pada Pihak UGM)

Florence bukan orang pertama yang kesandung karena tulisannya di media sosial, meski bukan yang pertama yang secara terbuka menghina sesuatu. Di media sosial ada yang bernama Jonru, dan dia pernah menuding tokoh agama Quirash Shihab sebagai orang yang ‘sesat’. Masuk polisi? Tidak. Tapi mereka habis-habisan di-bully di media sosial karena ucapannya. Dari situ kita pun jadi belajar soal etika kritik serta batas antara bicara dengan bukti atau asal jeplak.

Ditahannya Florence justru kembali membunyikan alarm tanda bahaya. Bahwa kebebasan berekspresi kita ada di ujung tanduk gegara UU ITE. Juga bahwa ‘musuh’ kebebasan pers tak lagi negara, tapi sesama rakyat yang punya tafsir berbeda-beda soal kebebasan berekspresi. Ditahannya Florence seharusnya menghidupkan lagi perdebatan soal revisi UU ITE karena aturan itu seperti harimau yang siap memangsa siapa pun kapan pun. (Baca juga: Florence Ditahan, Polisi Salahi Prosedur)

Pesan penting lainnya: jauhi media sosial saat sedang emosi. Bahaya.


  • florence sihombing
  • uu ite
  • spbu yogyakarta
  • media sosial

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!