OPINI

Rintisan Perdamaian yang Tiada Ujung

Demo Komite Nasional Papua Barat  di Jayapura. (KBR/Lita)


Senin kemarin kita memperingati 11 tahun perjanjian damai Helsinki antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Perjanjian damai yang dirintis bertahun-tahun, setelah pertempuran tiada henti sejak 1976 antara tentara dengan kombatan. Konflik yang memakan korban tak terhingga itu akhirnya bisa diselesaikan dengan damai - meski masih menyisakan utang penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia.

Kontras dengan Aceh, situasi di ujung timur Indonesia, Papua, masih penuh tanda tanya. Selama bertahun-tahun lalu, berbagai pihak berupaya merintis jalan perdamaian di Papua. Para tokoh dari perwakilan agama, peneliti, aktivis dan lain-lain, tidak henti menjadi penghubung pihak-pihak bertikai untuk merajut dialog perdamaian Papua. 

Salah seorang peneliti LIPI yang juga tokoh perintis perdamaian Papua, Muridan S Widjojo pernah mengatakan masalah Papua menjadi beban politik bagi siapapun yang memimpin Indonesia. Ia mendirikan Jaringan Damai Papua pada 2008 dan terus menyuarakan peta jalan dialog Jakarta-Papua. Namun, hingga ia meninggal dua tahun lalu, gagasan dialog itu tenggelam. Wakil Presiden Jusuf Kalla yang pada awal 2015 lalu pernah mengatakan akan mengawal perdamaian Papua, tidak terdengar suaranya lagi. 

Pada perundingan damai Aceh terdapat tokoh-tokoh seperti Jusuf Kalla, atau Martti Ahtisari bekas Presiden Finlandia peraih Nobel perdamaian itu sebagai mediator perundingan. Tapi dalam penyelesaian konflik Papua, Jusuf Kalla entah dimana. Juga tidak ada tokoh sekelas Martti Ahtisari yang turun tangan.

Banyak kepentingan bermain di Papua. Pemerintahan Jokowi juga tidak menempatkan dialog Papua sebagai prioritas. Akhirnya penyelesaian konflik di Papua bergeser pada isu merdeka atau NKRI, referendum atau rekonsiliasi. Dan kekuasaan aparat dan senjata tetap dijadikan alat pemerintah untuk mencari perdamaian yang hilang. 

  • Papua
  • referendum
  • hak asasi manusia

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!