EDITORIAL

Bumerang Impor

"Bersiaplah untuk kembali berpisah dengan tempe dan tahu. 12 pabrik tahu di Banda Aceh sudah berhenti beraktivitas. Sejumlah produsen tempe-tahu di Kabupaten Bandung mogok produksi. Produsen tempe di Banyumas dan Tasikmalaya melakukan hal serupa. Begitu ju"

KBR68H

Bumerang Impor
impor, tahu, tempe, kedelai

Bersiaplah untuk kembali berpisah dengan tempe dan tahu. 12 pabrik tahu di Banda Aceh sudah berhenti beraktivitas. Sejumlah produsen tempe-tahu di Kabupaten Bandung mogok produksi. Produsen tempe di Banyumas dan Tasikmalaya melakukan hal serupa. Begitu juga di daerah-daerah lainnya.

Penyebabnya satu: melemahnya rupiah. Maklum, kedelai sebagai bahan baku tahu-tempe yang sehari-hari kita makan diimpor dari Amerika. Produsen tahu-tempe sudah menjerit sejak sepekan lalu. Kerugian terus membelit mereka seiring naiknya harga kedelai dari enam ribuan per kilo, menjadi hampir 10 ribu rupiah per kilogram. Jurus yang dikeluarkan produsen beragam; mulai dari menaikkan harga jual, mengurangi kapasitas produksi, memperkecil ukuran tahu-tempe, sampai yang terakhir: mogok.

Perwakilan pembuat tahu-tempe Kabupaten Sukabumi hari ini rencananya akan mendatangi Kementerian Perdagangan untuk mempertanyakan kenaikan harga kedelai di pasaran. Mereka mengeluhkan lambannya pemerintah yang tak mengantisipasi melemahnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika. Di Kabupaten Sukabumi saja, ada 300-400 produsen tempe yang semuanya terancam gulung tikar akibat kenaikan harga kedelai.

Kementerian Koperasi dan UKM meyakini kenaikan harga kedelai hanya bersifat sementara karena dolar Amerika menguat. Jika rupiah kembali kuat dan stabil, harga kedelai kembali normal.

Tapi siapa yang bisa memastikan kapan itu akan terjadi? Karena yang terlihat di depan mata adalah kegagalan Pemerintah menerapkan tata niaga kedelai. Dan sialnya, perbincangan soal kedelai lokal baru teringat lagi begitu kita merana akan impor kedelai.

Kementerian Koperasi mengaku sudah melakukan program rintisan budidaya kedelai oleh 20 koperasi se-Pulau Jawa. Ini diharapkan bisa jadi stimulan bagi produksi kedelai dalam negeri. Asal tahu saja, dari kebutuhan 2,2 juta ton kedelai tahun lalu, kedelai lokal yang tersedia hanya 700 ribu ton. Tak sampai 32 persen. Data Produksi Kedelai dari Kementerian Pertanian ini pun diragukan karena di lapangan nyaris tak ditemukan kedelai lokal.

Persoalan faktual lainnya di lapangan adalah tidak adanya lahan. Lahan yang sebetulnya untuk kedelai, dialihkan untuk tanaman lain seperti padi. Wilayah yang khusus menanam kedelai pun terbatas, hanya di Aceh dan Jawa Timur. Ini membuat tekanan produksi menjadi sangat berat. Alhasil, jalan pintas dituju: impor.

Di saat seperti ini, butuh langkah radikal dari pemerintah. Ini bukan kali pertama tahu-tempe langka. ‘Makanan rakyat’ bagi berbagai lapisan ini justru berisi bahan impor yang membuat rakyat jelata sekalipun punya ketergantungan pada negara lain. Apa kabar swasembada pangan? Apa kabar ‘berdiri di atas kaki sendiri’?

Langkah impor memang terasa mudah dan cepat, tapi perut orang Indonesia juga butuh penanganan yang lebih bersifat jangka panjang dan berkelanjutan. Impor hanya akan membuat kita terus menerus tergantung tanpa ujung. Impor terbukti sudah berbalik menghantam tubuh perekonomian nasional.

Mau sampai kapan makan tempe-tahu rasa Amerika? 

  • impor
  • tahu
  • tempe
  • kedelai

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!