Kementerian Dalam Negeri tengah mendapat sorotan. Itu terkait kebijakan membuka akses data kependudukan terhadap lebih dari seribu lembaga, termasuk swasta atau perusahaan.
Perusahaan pembiayaan milik Grup Astra, misalnya, mendapat hak akses terhadap Nomor Induk Kependudukan (NIK). Kemendagri beralasan, akses itu untuk mempermudah swasta melakukan verifikasi data konsumen seperti calon pembeli kendaraan bermotor dan mencegah kejahatan penggunaan data palsu.
Publik ramai mengecamnya sebagai penyalahgunaan data pribadi yang seharusnya rahasia. Pasal 84 Undang-undang tentang Administrasi Kependudukan menyebutkan NIK termasuk data pribadi yang harus dilindungi dan disimpan kerahasiaannya oleh negara.
Kemendagri beralasan kebijakan itu tidak melanggar undang-undang. Alasannya, Undang-undang memberi wewenang Mendagri memberi hak ases data kependudukan kepada petugas provinsi, petugas instansi pelaksana serta pengguna. Dalam pasal 1 undang-undang itu disebutkan pengguna termasuk di dalamnya badan hukum yang memerlukan informasi data kependudukan. Kemendagri memasukkan perusahaan swasta dalam kategori ini.
Undang-undang Administrasi Kependudukan yang disahkan 13 tahun lalu ternyata masih menyisakan polemik soal hak akses data. Lembaga Ombudsman RI pun menganggapnya sebagai pelanggaran atau penyalahgunaan.
Protes Ombudsman maupun publik beralasan. Apalagi kini banyak kasus penipuan menggunakan data pribadi orang lain, atau data pribadi yang sifatnya palsu. Publik juga pasti tidak mau ada pihak lain mengakses data kependudukan secara ilegal, apalagi menyalahgunakan.
Artinya tetap harus ada jaminan kerahasiaan dan tidak untuk dijualbelikan atau disalahgunakan. Di sinilah kembali pentingnya aturan yang lebih jelas dan khusus mengenai perlindungan data pribadi melalui undang-undang. Pemerintah harus segera mengajukan draf RUU yang sudah dirancang ke DPR, agar RUU itu bisa segera dibahas dan masuk prioritas legislasi.