Kepolisian menangguhkan penahanan tersangka penyelundupan dan kepemilikan senjata ilegal Soenarko. Penangguhan bagi bekas Komandan Jenderal (Danjen) pasukan elit Kopassus itu diberikan setelah 2 anggota kabinet Presiden Joko Widodo memberikan jaminan. Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dan Panglima TNI Hadi Tjahjanto.
Menko Luhut beralasan, bekas anak buahnya itu kooperatif. Sementara Panglima Hadi menggunakan alasan rekam jejak selama berdinas yang baik dan mempertimbangkan ikatan moral antara prajurit dan purnawirawan. Sulit memupus pandangan jaminan itu adalah intervensi dan tekanan atas penanganan kasus.
Saat ini ada dua pensiunan jenderal yang tengah terlibat kasus dilaporkan ke kepolisian atas dugaan makar. Selain Soenarko, bekas Kepala Staf Kostrad Kivlan Zen juga menjadi tersangka dalam urusan kepemilikan senjata dan dugaan makar. Soenarko ditangkap pada Senin 20 Mei, 10 hari kemudian giliran Kivlan yang ditahan.
Lalu mengapa keduanya mendapat perlakuan berbeda? Bukankah ini bisa diartikan diskriminasi dan intervensi dari pemerintahan? Memang diterima atau ditolaknya permohonan, sepenuhnya menjadi kewenangan penyidik dan institusinya. Tapi tentu tak semudah itu. Apa jadinya bila Kepolisian mengabaikan jaminan dari dua petinggi di pemerintahan? Yang terjadi bisa menimbulkan ketidakpercayaan dan friksi antarlembaga di pemerintahan.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang memungkinkan selain keluarga, bisa memberikan jaminan penangguhan. Tapi apakah pantas hal itu diberikan kepada tersangka yang tengah dalam kasus berat? Sepatutnya para pejabat itu menahan diri. Jangan sampai jaminan itu menjadi bumerang yang berbalik menyerang independensi penegak hukum. Buahnya adalah ketidakpercayaan publik pada aparatnya.