EDITORIAL

Tenggang Rasa

"Seberapa sering Anda mendengar kata "tenggang rasa??" Rasanya sejak di bangku SD, kita sudah akrab dengan kata ini. Tapi seberapa sering kita menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari?"

KBR

Tenggang Rasa
tenggang rasa, Julius Felicianus, Galangpress

Seberapa sering Anda mendengar kata "tenggang rasa??" Rasanya sejak di bangku SD, kita sudah akrab dengan kata ini. Tapi seberapa sering kita menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari?

Rasanya ini yang tidak diterapkan oleh para pelaku penganiayaan terhadap Julius Felicianus, Direktur Galangpress, akhir Mei lalu, ketika menggelar ibadah doa Rosario di rumahnya. Pundak kirinya patah, sejumlah luka harus dijahit dan lehernya bengkak. Dan ini terjadi akibat para penganiaya mengaku kesal karena akses jalan masuk ke kampungnya terganggu. Jalan tertutup oleh sejumlah kendaraan yang hadir di rumah Julius hari itu.

Salah satu pelakunya mengaku tak berencana melakukan penyerangan. Bahwa ini dilakukan secara spontan Harap dicatat: spontanitas ini menyebabkan pundak kiri Julius patah, sejumlah luka harus dijahit dan lehernya bengkak. Catat juga kalau spontanitas itu dilakukan dengan memukul kepala Julius dengan pot serta bahunya dipukuli dengan besi. Julius pun bukan satu-satunya korban, ada anak-anak dan ibu-ibu yang juga jadi korban.

Sungguh ini spontanitas yang luar biasa berbahaya.

Sekarang coba kita balik posisinya. Apakah jalanan di rumah Anda sering ditutup untuk acara Maulid? Apakah gang di rumah Anda seringkali mendadak ramai karena pengajian di rumah salah satu warga? Apakah ada suara pengajian tanpa henti dari mesjid dekat rumah Anda? Jika ada yang dijawab dengan ya, maka ini saat yang tepat untuk betul-betul memikirkan apa arti kata "tenggang rasa?". Apakah terbayang suatu ketika pengajian di rumah Anda dibubarkan paksa, dengan modal pentungan dan samurai, hanya karena tetangga merasa terganggu? Apakah terbayang kalau perayaan Maulid atau hari besar agama Islam lainnya diganggu oleh penganut agama lain?

Kami tak bosan-bosannya mengingatkan kalau Indonesia itu bukan negara agama. Muslim memang mayoritas di negeri ini, bahkan Indonesia jadi negara dengan penganut Muslim terbesar di dunia. Tapi itu tak lantas membuat hukum Islam menjadi aturan hukum positif di negara ini. Artinya, ada penganut agama lain di negara ini. Artinya, konstitusi alias UUD 1945 masih menjadi aturan tertinggi di negara ini.

Dengan begitu, tenggang rasa adalah kunci hidup damai dan berdampingan satu sama lain. Dan itulah yang harus selalu diasah dan diterapkan di negara ini.

  • tenggang rasa
  • Julius Felicianus
  • Galangpress
  • Toleransi
  • petatoleransi_34Daerah Istimewa Yogyakarta_merah

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!