EDITORIAL

Mengembalikan PRJ Sebagai Pesta Rakyat

Mengembalikan PRJ Sebagai Pesta Rakyat
prj, festival kebudayaan jakarta, kreatif, ppkd

Mulai hari ini (Jumat,14/6) hingga Minggu lusa, warga Jakarta bakal disuguhi acara murah meriah yang diberi nama  Festival Kebudayaan Jakarta (FKJ) dan Pekan Produk Kreatif Daerah (PPKD). Acara di Monas ini penuh dengan kegiatan kesenian dan kebudayaan. Warga juga bisa menikmati pameran produk kreatif hasil industri rumahan dari para pelaku usaha mikro.

Banyak yang menyebut acara yang digagas Gubernur Jakarta Joko Widodo ini bertujuan menyaingi Pekan Raya Jakarta (PRJ) yang berlangsung sebulan penuh di Kemayoran. Gubernur menilai PRJ sudah jauh menyimpang dari konsep awal dan hanya bertujuan mencari keuntungan.

PRJ pertama kali dilaksanakan pada 1968. Gubernur DKI saat itu Ali Sadikin punya cita-cita membuat pameran besar untuk menyatukan berbagai pasar malam yang tersebar di sejumlah wilayah Jakarta, seperti Pasar Malam Gambir, yang berlangsung tiap tahun di kawasan Monas.

Agar lebih sah, Pemprov mengeluarkan Perda yang menetapkan PRJ menjadi agenda tahunan dan dilaksanakan menjelang ulang tahun Jakarta. Pesta rakyat ini penuh dengan pedagang kecil yang menjadi ciri khas PRJ. Namun, semua itu mulai terhapus setelah PRJ dipindah ke Kemayoran pada 1992. Pedagang besar dan industri mulai menguasai acara ini. PRJ yang harusnya menjadi kegiatan seni budaya berubah jadi ajang cari untung.

Ironisnya, Pemprov DKI yang memiliki paten acara ini tak pernah merasakan keuntungan dari PRJ. Pasalnya, pembagian dividen atau keuntungan dari pengelola PRJ, yaitu PT JIExpo ke pemprov terbilang minim. Bahkan DKI tetap harus bayar sewa stan.

Warga yang ingin jalan-jalan ke PRJ harus menyiapkan kantong yang lebih tebal. Untuk bisa masuk, pengunjung yang pakai sepeda motor harus mengeluarkan Rp 10 ribu untuk bayar parkir. Sementara tiket masuk ke lokasi pameran dipatok Rp 30 ribu per orang.

PRJ juga bukan lagi menjadi lahan bagi pedagang kecil untuk mencari keuntungan. Bayangkan saja, pedagang makanan khas Betawi, seperti kerak telor tak mampu lagi menyewa tempat di dalam lokasi PRJ. Sehingga mereka berjualan di pinggir jalan, itu pun masih harus bayar Rp 400 ribu. Sementara keuntungan mereka hanya Rp 150 ribu per hari.

Sementara harga sewa stan mencapai Rp 2 juta hingga 3 juta per meter sebulan.PT JIExpo meyebut sewa tersebut dianggap murah untuk kalangan UKM di Jakarta. JIExpo mengklaim 45 persen dari tempat pameran terborong habis oleh kalangan UKM.

Kita mendukung niat Gubernur  Joko Widodo untuk mengembalikan PRJ sebagai ajang meningkatkan ekonomi kecil dan menengah dengan menonjolkan kekayaan budaya Betawi dan daerah-daerah lain di Indonesia.

Pemprov DKI juga harus melibatkan budayawan dan seniman dalam merumuskan konsep PRJ yang benar-benar menonjolkan kebudayaan, tak hanya Betawi tapi kalau bisa juga berbagai seni budaya dari seluruh Nusantara. Ini karena Jakarta adalah megapolitan yang memiliki kultur majemuk. Ujungnya, PRJ jangan lagi menjadi ajang pamer barang-barang mahal yang memicu konsumerisme.

Soal tempat, bisa dimana saja. Yang penting harus ada lahan parkir yang cukup. Juga tak menimbulkan kemacetan parah. Harus dipikirkan pula soal keamanan dan kemampuan  menampung jutaan warga Jakarta. Mengubah konsep PRJ tak serta merta harus memindahkan tempatnya.

  • prj
  • festival kebudayaan jakarta
  • kreatif
  • ppkd

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!