EDITORIAL

Kampanye Empat Pilar Kebangsaan, Perlu Diteruskan Dan Dikritik

Kampanye Empat Pilar Kebangsaan, Perlu Diteruskan Dan Dikritik

Satu warisan Taufiq Kiemas yang banyak dibicarakan saat kita mendengar Ketua MPR ini meninggal, dan kemudian dimakamkan kemarin (9/6), adalah gagasan konseptualnya tentang Empat Pilar Kebangsaan.  Sejak kursi Ketua MPR diduduki Taufikq Kiemas, meski tak begitu intensif, kita memang mendengar bagaimana konsep Empat Pilar ini didengungkan dan didiskusikan. Tak selalu gagasan ini mendapat sambutan publik, apalagi di tengah gempuran berbagai isu sosial politik ekonomi yang tiap hari memborbardir mata dan telinga kita.


Masalah strategis kebangsaan sebagaimana tercantum dalam konsep Empat Pilar, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika mestinya relevan untuk jadi bahan pemikiran kita bersama. Tapi kenapa masalah strategis ini justru acap tenggelam di tengah pusaran isu lain dan tak menjadi tema perbincangan yang dominan?


Pasca reformasi 1998, wacana tentang hal-hal strategis semacam Empat Pilar memang tak lagi menjadi  wacana publik. Para pemimpin mulai dari presiden, anggota DPR, dan para pejabat tinggi lainnya seolah justru menghindar untuk membicarakannya. Padahal pada saat yang sama, berbagai masalah yang membahayakan pilar-pilar kebangsaan mulai bermunculan. Sebut saja peminggiran, penutupan rumah ibadah, bahkan hingga penyerangan fisik terhadap kelompok minoritas yang terus terjadi belakangan ini.


Perlindungan hukum terhadap setiap warga negara terasa timpang, tidak berlaku azas equality before the law atau persamaan di depan hukum. Kelompok-kelompok intoleran terus bertumbuh, berkembang, dan tak jarang justru mendapat dukungan pejabat. Tak ada upaya strategis untuk mengikis tindakan yang mengancam keutuhan bangsa dan keberagaman. Sementara pada titik lain, diskriminasi  perlakuan hukum masih dipertontonkan dengan gamblang. Seorang anak pejabat yang menabrak mati orang lain hanya dihukum ringan, padahal pada kasus serupa di tempat lain, hukumannya bisa  sangat berat.


Terdapat jurang besar antara konsep ideal nilai-nilai bangsa dengan kenyataan sehari-hari. Barangkali soal inilah yang menjadi keprihatinan Taufiq Kiemas ketika ia menyodorkan konsep Empat Pilar Kebangsaan yang tak henti ia kampanyekan. Masyarakat, juga para pejabat publik, kian pragmatis.  


Kepentingan individu dan kelompok makin mendominasi, mengubur kepentingan bersama yang lebih besar. Ketidakadilan antara pusat-pusat kekuasaan dengan warga kian melebar. Otonomi daerah untuk menjembatani ketidakadilan pusat dengan daerah, malah bergeser, memunculkan raja-raja kecil baru: para pejabatnya kaya-raya, sementara rakyatnya tetap tidak sejahtera.  


Arus besar pragmatisme ini telah menjadikan Indonesia seolah kehilangan identitasnya sebagai bangsa yang memiliki nilai-nilai luhur sebagaimana pernah dirumuskan para pendiri bangsa. Tanpa kehendak untuk kembali kepada nilai-nilai dasar yang pernah dimiliki bangsa ini, jangan heran kalau republik ini akan kian kehilangan kekokohannya.


Empat Pilar Kebangsaan yang digagas Taufiq Kiemas, dengan begitu, layak untuk diteruskan, bahkan disegarkan terus-menerus.  Bukan hanya oleh MPR, tetapi harus menjadi gerakan bersama mulai dari presiden, DPR, hingga bupati dan walikota. Menjadi gerakan kebangsaan.


Memang ada kritik keras terhadap konsep Empat Pilar. Salah satunya adalah tentang Pancasila yang sebagai dasar negara, seharusnya tak dimasukkan sebagai pilar, tapi justru merupakan fondasi dari keseluruhan pilar. Kritik semacam ini perlu dihidupkan agar wacana tentang nilai-nilai fundamental tetap menjadi bagian dari kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Karena hanya dengan diskusi dan dialog tentang hal-hal mendasar, kita bakal menemukan makna hakiki dari cita-cita para pendiri bangsa.


  • taufiq kiemas
  • empat pilar kebangsaan
  • pancasila
  • bhineka tunggal ika
  • mpr

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!