EDITORIAL

Manifesto

Manifesto

Kemarin, sebuah manifesto dibacakan. Lalu diedarkan untuk ditandatangani oleh siapa saja yang setuju. Judulnya: Manifesto Rakyat yang Tak Berpartai. Ditulis dan ditandatangani oleh sejumlah tokoh yang tak bergabung dalam partai politik, dan yang sudah keluar dari partai politik. Isinya kekecewaan terhadap kehidupan kepartaian di Indonesia yang hanya dimanfaatkan oleh segelintir elit untuk meraih kekuasaan. Juga kekayaan.

Ini sebuah manifesto kekecewaan sebetulnya. Nyaris di tubir nihil harapan. Ketika partai sebagai lembaga sah dalam demokrasi, dan diandalkan sebagai kendaraan memperjuangkan aspirasi rakyat, hanya ditunggangi oleh orang-orang yang gemar mempermainkan nurani rakyat. Untungnya, menurut Manifesto itu, “berangsur-angsur ada celah akan kembalinya kehidupan politik yang bersih dan mengabdi kepada rakyat. … Mereka adalah tokoh-tokoh yang bersih, tulus, dan bekerja dengan sungguh-sungguh. Mereka adalah orang-orang muda yang tidak tercemar oleh dosa politik masa lalu.”

Yang dimaksud diantaranya adalah Jokowi.   Di antara tokoh tak berpartai yang membacakan manifesto itu kemarin ialah Goenawan Mohamad, Faisal Basri, Ayu Utami, Marco Kusumawijaya, dan Butet Kertaradjasa. Mereka percaya, dan mengajak orang percaya bahwa Jokowi “akan melaksanakan amanat rakyat untuk mengubah kehidupan sosial-politik ke arah yang lebih baik.”

Kehadiran Manifesto kemarin memberi garis pembeda yang tegas dengan partai pengusung Jokowi. Meski memang ia, Jokowi, berasal dari Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan, dipandang bukanlah “petugas partai” yang mengemban amanat partai, seperti yang disampaikan Megawati Soekarnoputri saat mengumumkan koalisi PDI-P, Nasdem, dan PKB.

Harus diakui, hadirnya Jokowi ke panggung nasional mula-mula bukanlah peran dari partainya sendiri. Kehadiran Jokowi didorong oleh kesadaran berbagai lapisan masyarakat di luar partai. Pada perjalanannya, Jokowi didukung penuh partainya. Digunakan sebagai ikon untuk meraup suara banyak di pemilihan legislatif. Dan sejumlah kekecewaan muncul ketika nama Jusuf Kalla disebut sebagai calon wakil presiden. Sejumlah analisis bermunculan dan menganggap Jokowi sebetulnya tidak happy dengan putusan itu.

Bisa jadi betul. Itu sebab Manifesto kemarin menjadi penting. Manifesto kemarin tidak mengajarkan untuk golput meski kecewa pada partai politik yang ada. Bernama PDI-P sekalipun. Manifesto kemarin mengajak orang bersikap. Mereka menunjuk suatu nama. Jokowi. Media kami tentu tak bisa menganjurkan siapa yang harus Anda pilih.

Apa yang dianjurkan oleh Manifesto kemarin pesannya jelas meski tak tersurat: jangan diam. Mungkin Anda bingung mau mendukung dan memilih siapa. Anda masih punya waktu sekitar 50 hari. Sampai puncak kebingungan pun, tentukan pilihan. Tak ada pilihan yang salah. Ini kali, yang salah adalah diam. Karena dalam suatu pertarungan yang jahat melawan yang baik, diam adalah kejahatan.

  • manifesto
  • jokowi
  • pdi-p

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!