EDITORIAL

Akal-akalan Otonomi Daerah

Akal-akalan Otonomi Daerah

Politik yang gaduh kala pemilu legislatif dan pencarian calon presiden serta wakilnya, tak berpengaruh banyak terhadap proses pemekaran daerah. Dalam catatan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, saat ini sudah ada 87 Rancangan Undang-Undang daerah otonom baru yang siap dibahas DPR bersama Pemerintah. Kalau semua itu gol, maka sejak dimulainya rezim otonomi daerah pada 1999, akan ada 304 daerah otonom baru. Kementerian Dalam Negeri mencatat, sejak 1999-2013 sudah ada 217 daerah otonom baru. Terdiri dari  8 provinsi, 175 kabupaten, dan 34 kota.

Sejak kebijakan otonomi daerah diterapkan pada 1999, daerah seakan berlomba-lomba memekarkan diri.  Mendekatkan diri kepada warga, meningkatkan pelayanan publik, memaksimalkan dana untuk pembangunan bagi rakyat kerap jadi alasan pembenar untuk memperbanyak jumlah kepala daerah. Dan hasilnya, hampir nol. Oktober 2012, saat jumlah daerah otonom mencapai 205, pakar otonomi daerah LIPI Siti Zuhro menyebut 83 persen daerah pemekaran menjadi beban anggaran negara. Daerah-daerah ini hidup hanya bergantung pada dana transfer dari pusat. Pendapatan Asli Daerah alias PAD nya bahkan ada yang nol, tak ada pendapatan sama sekali. Itu masalah dari sisi pendapatan.

Di sisi politik, pemekaran malah bisa berujung fatal. Otonomi daerah malah bisa memuluskan dinasti politik. Tak perlu jauh mencari contoh. Provinsi Banten, yang hanya selemparan baru dari pemerintah pusat, sukses menerapkan jurus ini. Lebih dari 10 tahun berkuasa, Gubernur Atut Chosiyah mampu mengantarkan anak, kerabat, sampai ipar menduduki posisi strategis di daerah maupun pusat, legislatif maupun eksekutif. Akibatnya fatal, kekuasan berjalan hampir tanpa kontrol. Korupsi merajalela, tanpa ada yang bisa menghadang. Untung ada KPK yang berhasil mencokok sang Ratu dan mendepaknya ke Penjara Pondok Bambu.

Dari segi pelayanan publik, hampir tak ada yang terwujud. Janji mendekatkan pelayanan kepada warga hanya menjadi alasan untuk mendapat kursi empuk kekuasaan. Toh, dilapangan banyak PNS yang masih abai akan arti kata pelayanan. Di Kantor Catatan Sipil Kota Bekasi misalnya, alih-alih melayani dengan sigap, warga malah disuruh menunggu para abdi masyarakat ini selesai sarapan.

Lalu apa kita harus menaruh harap pada otonomi daerah? Jawabannya bisa dan tidak. Bisa kalau semua yang dicita-citakan dalam beleid ototomi daerah terlaksana. Tidak, kalau hanya menguntungkan segelintir elit, memberi kesempatan mereka membangun dinasti dan memperkaya diri sampai anak cucu.

  • otonomi daerah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!