EDITORIAL

Waspada, Lahan Pertanian Kian Habis!

Waspada, Lahan Pertanian Kian Habis!

Suatu saat nanti mungkin kita tak bisa lagi menemukan pemandangan sawah nan hijau yang membentang sepanjang perjalanan melintasi Pulau Jawa. Gemulai padi yang mulai menguning diganti deretan perumahan kaku dan membosankan.

Sawah-sawah itu hilang seiring pesatnya pembangunan. Di Yogyakarta misalnya, setiap tahun sekitar 100 hingga 160 hektar lahan sawah beralih fungsi menjadi perumahan. Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, di mana 20 hingga 25 hektar sawah hilang per tahunnya. Pengembangan kawasan bisnis juga ikut merampok lahan pertanian, ini terjadi di Tangerang Selatan. Data Badan Pusat Statistik Tangsel menunjukkan pada 2010 jumlah petani diperkirakan mencapai 4,700-an jiwa, tapi tahun ini tinggal 714 orang.

Selain alih fungsi, penyusutan lahan juga bisa disebabkan perubahan iklim dan serangan organisme yang mengganggu pertanian. Kondisi ini terjadi di Sumenep, Jawa Timur.

Tak hanya di Pulau Jawa, alih fungsi lahan juga terjadi di Sumatera. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Lampung menyebut penyusutan lahan pertanian sudah mencapai 38 persen dari luas lahan 447 ribu hektar.

Kalau di Jawa penyusutan lahan karena industri dan perumahan, di Sumatera lebih pada peralihan komoditas. Misalnya, yang semula padi menjadi komoditas lain seperti kelapa sawit. Sementara di Kalimantan, lahan pertanian dikepung pertambangan batu bara.

Penyusutan lahan diperburuk dengan kenyataan bahwa pertanian tak lagi bisa memberikan harapan masa depan. Hasil panen yang tidak pasti, harga gabah yang rendah
membuat ratusan petani di Banyuwangi, Jawa Timur  beralih menanam buah-buahan yang lebih menguntungkan.

Pemerintah daerah juga lebih suka Pendapatan Asli Daerahnya berasal dari industri. Pemda rela lahan sawahnya hilang asal bisa mendatangkan PAD yang besar. Mereka  mengabaikan Undang Undang tentang Lahan Pangan Berkelanjutan yang jelas-jelas mengatur soal tata ruang. Tak sedikit juga petani yang kepincut mahalnya harga tanah yang ditawar pengusaha. Masa depan pertanian juga makin buram jika sudah terjadi alih kepemilikan lahan. Jika itu terjadi, petani tak lagi berdaulat atas lahan dan regenerasi petani bakal terhenti.

Semua fakta ini sudah mencapai tahap mengerikan. Penyusutan ini tak sebanding dengan upaya Pemerintah mencetak sawah baru. Menurut Kontak Tani Nelayan Andalan, pemerintah hanya sanggup mencetak tak lebih dari 40 ribu hektar per tahun.

Banyak hal yang menyebabkan terhambatnya upaya mencetak sawah baru, salah satunya adalah sulitnya mencari lahan. Kalaupun diusahakan di luar Pulau Jawa, produktivitasnya mungkin tak sama. Mungkin saat ini pemerintah masih bisa impor beras, tapi bagaimana jika negara pengimpor juga membutuhkan? Bisa dijamin pemerintah bakal kelabakan. Jumlah penduduk juga akan terus bertambah, makin banyak mulut yang harus diberi makan, apa mau terus menerus impor?

Kalau pemerintah masih ingin mempertahankan Indonesia sebagai negara agraris, pemerintah harus tegas menolak izin pembangunan perumahan atau pabrik yang mencaplok sawah petani. Harus ada regulasi yang tegas untuk mengatasi alih fungsi lahan. Perlu ada kebijakan besar yang berpihak kepada para petani. Semuanya wajib dilakukan jika pemerintah ingin mencapai target surplus produksi beras sebanyak 10 juta ton pada 2014, dan jangka panjangnya adalah kemandirian pangan Indonesia. 

  • pertanian
  • pendapatan asli daerah
  • sawah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!