EDITORIAL

Rekonsiliasi Untuk Siapa?

Foto: Komnas HAM

Keluarga korban pelanggaran HAM berat kemarin mendatangi kantor Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan. Belasan orang itu hadir untuk menolak rencana pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM melalui jalur nonyudisial - dengan cara rekonsiliasi. Dalam kamus, rekonsiliasi diartikan sebagai pemulihan hubungan persahabatan atau perbuatan menyelesaikan perbedaan.

Arti katanya sungguh baik, tapi bukan itu jawaban yang diharapkan keluarga korban pelanggaran HAM yang bertahun-tahun menanti keadilan. Negara sesungguhnya sudah memberikan arah dalam penyelesaian kasus HAM. Lebih 15 tahun silam sudah ada aturan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Melalui Undang-Undang, diatur pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diteken Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. 

Komisi Nasional (Komnas) HAM sebagai penyelidik sudah menyerahkan 7 kasus pelanggaran HAM berat kepada Kejaksaan Agung sebagai penyidik.  Semestinya cara itulah yang ditempuh  pemerintah untuk menuntaskan kasus pelangaran ham berat masa lalu: membentuk pengadilan HAM ad hoc. Di sana lah kebenaran bisa diungkap secara terang benderang. Siapa yang bersalah, mesti mendapat hukuman. Dan siapa yang jadi korban sepatutnya direbahilitasi dan diberikan kompensasi.

Karena itu, rekonsiliasi semestinya dilakukan setelah proses hukum tuntas dilakukan. Tanpa proses itu, rekonsiliasi bakalan hanya jadi ajang pelanggengan impunitas. Alih-alih memberi keadilan bagi para korban, malah melindungi para penjahat, pelaku pelanggaran HAM berat dari jerat dewi keadilan. 

  • rekonsiliasi
  • Pelanggaran HAM
  • impunitas

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!