EDITORIAL

Blokir Lewat Panel

Blokir Lewat Panel

Apakah pemerintah berwenang memblokir sebuah situs? Debat soal ini muncul kembali menyusul pemblokiran terhadap puluhan situs yang dinilai radikal oleh Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT).

Pro kontra terjadi. Para penentang berdalih, pemblokiran berlawanan dengan semangat kebebasan berekspresi. Mengamini pemblokiran berarti siap-siap kehilangan kebebasan. Para penentang blokir lantas mengajukan pilihan, boleh blokir asal melalui putusan pengadilan.

Sedangkan yang setuju pemblokiran berargumen, situs-situs yang berisi konten berbahaya memang sebaiknya ditutup. Dan negara punya kewenangan untuk memblokir demi melindungi warganya. Argumen lainnya menyebut, bahkan di negara-negara  demokratis pun, hate speech atau siar kebencian harus dipisahkan dari kebebasan berekspresi. Lebih-lebih karena siar kebencian bertentangan dengan hak untuk bebas dari rasa takut dan diskriminasi.

Debat semacam ini memang tak pernah mencapai titik akhir. Pemblokiran lewat jalur pengadilan memang pilihan ideal, agar pemerintah tak bersikap sewenang-wenang. Tapi ada masalah kualitas putusan dan urgensi waktu di sini. Bagaimana kalau pengadilan dipimpin seorang hakim seperti Sarpin? Dan seberapa cepat pengadilan bisa mengambil keputusan agar tak terjadi kerusakan yang lebih parah?

Bayangkan seandainya ada situs yang berisi ajakan untuk membuat bom dan memerintahkan pembacanya untuk menebar terror bom. Apakah untuk menutup situs itu harus menunggu pengaduan publik, proses penyidikan, dan lantas proses pengadilan yang bisa makan waktu lama? Iya kalau situs itu menyebut nama para pengelola beserta alamat lengkap. Kalau tidak?

Di tengah kontroversi itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara bertindak cepat dengan membentuk tim panel yang bertugas meneliti situs yang bermuatan negatif. Ada 4 panel yang dibentuk, yakni Panel Pornografi, Kekerasan Terhadap Anak dan Keamanan Internet, Panel Terorisme, SARA, dan Kebencian, Panel Investasi Ilegal, Penipuan, Perjudian, Obat & Makanan, dan Narkoba, dan terakhir Panel Hak Kekayaan Intelektual.

Tim panel inilah yang nantinya bertugas memberi rekomendasi kepada pemerintah tentang apa yang sebaiknya dilakukan terhadap situs-situs yang dinilai bermuatan negatif. Pembentukan panel ini pun sejalan dengan berbagai masukan para pakar dan aktivis kebebasan berekspresi dalam menyikapi pemblokiran yang selama ini terjadi.

Kita berharap panel ini bisa bekerja cepat dalam meneliti situs-situs bermuatan negatif yang bisa membahayakan publik. Lebih bagus lagi, untuk menghindari like and dislike, tersedia mekanisme banding bagi pengelola situs untuk mengajukan keberatan.

Demokrasi harus dirawat. Tapi demokrasi juga harus dijaga agar tak dimanfaatkan para penumpang gelap.

  

  • rudiantara
  • kebebasan berekspresi
  • bnpt
  • blokir

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!