EDITORIAL

Kampanye Negatif

Kampanye Negatif

Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru akan membuka pendaftaran calon presiden dan wakilnya pada 18 Mei mendatang. Masih ada sekitar 20 hari lagi. Ini berarti hingga hari ini, per definisi, belum ada satu pun partai politik yang sudah memiliki pasangan calon presiden dan wakilnya secara resmi.

Tapi kita tahu, pendaftaran resmi itu hanya formalitas saja. Faktanya, beberapa calon presiden sudah “berkampanye” jauh-jauh hari. Hampir tak ada hari tanpa kemunculan nama-nama calon presiden yang kelak akan bertarung pada 9 Juli nanti. Paling intens, di luar 11 nama yang beredar dari konvensi Partai Demokrat, Aburizal Bakrie dari Partai Golkar, Jusuf Kalla, Mahfud MD hingga Rhoma Irama dan lain-lain – ada dua nama yang paling banyak disebut. Mereka adalah Joko Widodo alias Jokowi yang diusung PDI Perjuangan dan Prabowo Subianto dari Partai Gerindra.

“Perang udara” di media massa dan media sosial di antara dua kubu ini bahkan sudah berlangsung sejak sebelum pemilu legislative digelar 9 April lalu. Berbagai cara dilakukan masing-masing tim pendukung Jokowi maupun Prabowo untuk mempromosikan calon presiden pilihan mereka. Jokowi digambarkan sebagai orang yang tak banyak bicara, melainkan banyak kerja dan blusukan. Sedangkan Prabowo digambarkan sebagai tokoh yang memiliki pandangan visioner dan ketegasan, karena latar belakang kariernya sebagai tentara.

Sampai di sini sebetulnya tak ada masalah. Sungguh sah bagi masing-masing pendukung untuk menonjolkan segi-segi positif para calon mereka. Masalahnya akan jadi lain kalau para pendukung ini mulai memainkan strategi halalkan segala cara. Sebagaimana yang hampir selalu terjadi pada setiap musim pemilu, berbagai isu negatif tentang calon presiden pun mulai marak disebarluaskan. Yang paling gampang, meski tampak bodoh, adalah menggunakan isu primordial berbasis SARA untuk menjatuhkan lawan politik.

Tak jarang, karena segala cara halal dilakukan, orang lain yang tak ikut-ikutan pun bisa menjadi korban. Salah satu korbannya adalah guru besar sejarah dan politik Indonesia yang pernah mengajar di Universitas California, Geoffrey Robinson. Indonesianis jebolan Universitas Cornell ini nama dan fotonya dipakai untuk mengunggah video di laman Youtube untuk mempromosikan Prabowo Subianto, dan sebaliknya, menjatuhkan Jokowi.

Untunglah cara-cara tak etis semacam itu segera ketahuan. Sang professor protes dan video itu segera diturunkan. Tapi bagaimana dengan berbagai kampanye negatif lain yang terus-menerus disebarluaskan melalui beragam medium?

Kita hanya bisa berharap, publik Indonesia hendaknya semakin cerdas menyikapi berbagai isu yang beredar untuk menjatuhkan lawan politik. Sungguh celaka bangsa ini kalau nanti memiliki pemimpin yang tak memiliki etika. Seorang presiden yang menghalalkan segara cara demi mencapai tujuannya.


Baca juga:

Kampanye Hitam Capres, Nama Geoffrey Robinson pun Dicatut

  • kampanye negatif prabowo
  • kampanye negatif terhadap jokowi
  • perang terbuka antar capres
  • propaganda capres

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!