EDITORIAL

Angkutan Kita, Matematika yang Tak Selesai

Angkutan Kita, Matematika yang Tak Selesai

Jalan menuju kota, gaduh selalu ~ kata Leo Kristi. Ia satu dari pemusik yang akrab dengan jalanan, dan angkutan umumnya. Bus kota, bus malam, juga kereta api. Misalnya ini: Pagi masih sunyi/ seperti hatiku/ ketika kududuk di bangku peron/ tiada seorang pun menemani/ majalah dan koran pagi/ tak banyak menolongku.

Ia lalu bernyanyi.

Di pagi kemarin, tak ada nyanyian di Stasiun Bekasi. Yang ada orang-orang marah lalu memblokade rel kereta api. Akibatnya beberapa kereta dari arah timur tertahan tak dapat masuk ke Jakarta. Jalan menuju kota, kemarin pagi, gaduh. Meski biasanya juga begitu.

Apa yang keliru dari penataan transportasi di Indonesia? Armada terbatas, sementara jumlah penumpang melebihi kapasitas, barangkali menunjukkan kelalaian matematika pengambil keputusan. Biasanya yang dijadikan alasan adalah keterbatasan anggaran menambah armada. Sedangkan yang sudah ada, kerapkali seadanya, terutama terjadi di bus-bus kota yang dikelola swasta dan pemerintah. Adapun angkutan yang lebih kecil seperti mikrolet, KWK—atau banyak nama lain untuk angkutan kota itu—menjejali isinya dengan rumus 4:6 atau 5:7 ditambah dua di pintu dan dua di samping supir. Penumpang yang berdandan sebelum membuka pintu rumah, dijejal seperti sayur dan ayam potong dari pasar. Juga gaduh. Biasanya memang begitu.

Semua jenis angkutan umum di pagi hari itu melaju pelan, dan lebih sering berhenti, di panjang jalan yang selalu kalah menguber jumlah produksi kendaraan dan populasi. Pejabat, dari yang namanya presiden, menteri perhubungan, gubernur, bupati, walikota plus pengusaha angkutan: hening. Ketimbang memperbaiki yang ada, lebih memilih mengeluarkan izin trayek baru. Akibatnya banyak kota, semisal Bogor, Tangerang, Depok, Bekasi, dibanjiri angkutan-angkutan kecil yang sering berhenti sembarangan. Macetlah jalan kita di pagi hari.

Kereta api, sesungguhnya sudah jauh lebih baik ketimbang sebelumnya. Tak ada lagi penumpang yang nekat menyerahkan nyawa di atap gerbong, sistem karcis elektronik, semua gerbong berpendingin, jadwal mulai dirapikan. Tapi, pada jam-jam diperlukan, di pagi hari, lalu sore dan malam, kereta api tak kuat menampung penumpang. Jadwalnya juga molor.

Industri kereta api Indonesia sesungguhnya mampu memproduksi lokomotif dan gerbong kereta. Tapi lembaga finansial lebih suka memberi pinjaman bila perusahaan kereta api membelinya dari luarnegeri. Biar bekas sekalipun. Bukankah mestinya pemerintah lewat bank-bank yang dimilikinya harus mendukung upaya menambah gerbong dan lokomotif?

Yang akan diangkut itu warganya. Para pekerja yang siap mengabdikan dirinya untuk menggerakkan roda ekonomi negeri, melayani warga lainnya, dan banyak juga yang berangkat untuk keperluan pendidikan.

Atau jalan menuju kota, memang akan seperti Leo Kristi bilang: gaduh selalu.

  • transportasi publik
  • kereta api
  • angkutan kota
  • transportasi massal
  • lagu Leo Kristi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!