Kepulan asap hitam menyelimuti udara di sekitar kediaman terduga teroris Husain alias Abu Hamzah, di Jalan Cendrawasih, Kecamatan Sibolga, Rabu (13/03/2019) dinihari kemarin. Selama 10 jam upaya negosiasi berujung nihil. Bahkan ajakan dari tokoh agama lewat alat pengeras suara masjid juga tak sanggup menembus banteng pertahanan istri terduga teroris Abu Hamzah. Bom kedua meledak, menewaskan istri dan anak Abu Hamzah.
Ledakan pertama sebelumnya terjadi saat polisi hendak memeriksa Abu Hamzah pascapenangkapan dirinya, Selasa siang. Tentu saja ledakan kedua dini hari kemarin menambah kengerian, bukan saja pada masyarakat sekitar lokasi kejadian tapi hingga di benak kita yang mendengar kabar itu. Persis. Kengerian inilah yang ingin disampaikan lewat ledakan bom pelaku teror.
Ingatan kita terlempar ke Surabaya. Sekitar tengah tahun lalu, serangan teror terjadi beruntun pada Minggu (13/5/2018) dan Senin (14/5/2018) melibatkan dua keluarga. Dua pasang orang tua bersama dengan anak-anak mereka. Apapun yang sedang direncakan Abu Hamzah sebelum dia diringkus telah membuktikan bahwa teroris mampu meradikalisasi seluruh keluarga. Dan kita mengutuk ideologi yang memotivasi orang tua untuk memanipulasi anak-anak mereka dalam aksi teror semacam itu.
Tren ini sungguh berbahaya. Sejak ISIS di Suriah dan Irak makin terpojok, terindikasi ada lebih dari 500 returnee atau anggota ISIS yang kembali ke Indonesia. Dan seruan untuk melakukan aksi balas dendam dikirimkan ke penjuru dunia dari wilayah konflik itu kepada anggota dan simpatisan. Meningkatkan kewaspadaan ini bukan hanya tugas aparat, tapi masyarakat. Terpenting, bentengi diri dari sikap intoleran agar paham radikal tak makin subur.