Perdebatan tentang siapa paling bertanggung jawab atas kerusuhan 1998, baik terkait kasus Mei 20 tahun lalu, maupun Trisakti, Semanggi I dan 2 baiknya diletakan pada instrumen hukum. Debat tanpa arah, apalagi sampai membawa pocong ke dalam sumpah, jelas tak masuk akal dan menyakiti perasaan korban. Perang narasi para politikus yang demi kepentingan sesaat pemilihan presiden April nanti tak boleh menggelinding jauh.
Ada tiga hal yang perlu dilakukan agar penegakan kasus pelanggaran HAM itu tak kehilangan momentum dalam koridor hukum. Pertama, Jaksa Agung Prasetyo bisa memanggil eks Panglima TNI Wiranto , bekas Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan bahkan pensiunan tentara seperti Kivlan Zen untuk mengklarifikasi, sekaligus melengkapi berkas Komnas HAM.
Bila tidak berani, Jaksa Agung dapat menerbitkan surat perintah penyidikan yang mengajak Komnas HAM untuk melakukan pemeriksaan lebih jauh. Dan terakhir, pemerintah membentuk Pengadilan HAM adhoc yang sudah lama diabaikan Wiranto, juga Presiden Joko Widodo.
Sejak dilantik, bila mau, Wiranto bisa meminta Presiden menerbitkan Keppres yang dapat memeriksa dan menyeret para pelanggar HAM. Bukan menantang sumpah pocong. Kebalikannya, oposisi melalui kekuatan di parlemen bisa mendorong pembentukan peradilan HAM ad hoc.
Publik menunggu, keberanian politikus menegakkan hukum untuk memastikan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat. Bukan sekadar wacana, demi suara dalam pemilu.