OPINI

Mengatur Urusan Privat

Suasana Sidang Paripurna DPR di Kompleks Parlemen.

Januari ini, mestinya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana disahkan DPR. Hukum pidana warisan pemerintah kolonial Belanda ini berisi lebih dari 750 pasal yang dianggap tidak lagi sesuai perkembangan masa kini. 

Salah satu pembahasan yang paling menyedot perhatian sekarang adalah rencana akan masuknya materi soal LGBT. Sejumlah fraksi pengusungnya ingin supaya LGBT dinyatakan secara hukum sebagai perbuatan terlarang. RUU KUHP versi pemerintah sebatas mengatur pidana terhadap perilaku LGBT dengan korban anak-anak. Lewat revisi ini, perilaku LGBT antarorang dewasa disorongkan juga sebagai tindakan pidana. 

Kita ingat, belum lama ini sebuah video sempat viral di media sosial tentang dua laki-laki yang berpelukan. Mereka dikira pasangan gay. Akibat video tersebut, mereka tertekan, tak berani keluar rumah, bahkan salah satunya jadi kehilangan pekerjaan. Padahal mereka bukanlah pasangan gay, melainkan kakak-adik yang sudah lama tidak bertemu. Hanya karena mereka diduga pasangan gay, kedua orang ini jadi sasaran persekusi. Ketika ini ternyata hanya kesalahpahaman, siapa yang tanggung jawab?

Ketika pasal larangan LGBT ini masuk ke KUHP, pasal ini sangat mungkin dipakai untuk mendiskriminasi, mengintimidasi atau bahkan menyerang orang yang dikira pasangan LGBT. Semestinya negara tidak ikut mengatur urusan privat - dan orientasi seksual seseorang adalah salah satunya. Ketika negara campur tangan, warga justru bisa jadi korban represi. Padahal negara harusnya berdiri di atas semua golongan, di atas semua perbedaan, demi melindungi setiap warga negara. Karena semua punya hak yang sama. 

  • LGBT
  • persekusi
  • DPR
  • RUU KUHP

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!