EDITORIAL

Antara Tukang Becak, Pejabat Publik, dan Politisi

Antara Tukang Becak, Pejabat Publik, dan Politisi

Hari ini 1 Januari 2013. Kita memasuki hari baru setelah semalam mungkin sebagian dari kita menghabiskan waktu dengan pesta. Malam tahun baru memang lekat dengan berbagai keriaan bersama. Tak ada yang salah dengan kegembiraan menyambut penanggalan baru. Toh, itu setahun sekali.

Tapi di tengah kegembiraan dan suasana pesta kemarin, kita juga mendengar seorang tukang becak bernama Yohanis, meninggal dunia. Yohanis meninggal setelah jatuh dari atas becaknya. Saat itu ia tengah mengantarkan penumpang. Belum sampai di tempat tujuan, ia menghembuskan nafas terakhir. Ada dugaan, Yohanis meninggal karena dehidrasi tinggi dan kekurangan asupan makanan.

Kemiskinan. Itulah problem yang pasti tengah ditanggung Yohanis. Warga Polewali Mandar, Sulawesi Barat ini pasti tak akan mau bersusah-payah mengayuh becak kalau ia memiliki pekerjaan lain yang lebih layak. Pekerjaan sebagai penarik becak tentu sangat menguras energy di usianya yang menginjak 50-an tahun.

Yohanis tak sendirian. Sebulan lalu, tepatnya 27 November 2012, seorang tukang becak lain bernama Suwarno, juga meninggal dunia ketika hendak mengaso usai menarik becak. Ia kelelahan, menghentikan becaknya, dan bersandar di sebuah mobil. Tapi ia mendadak lemas. Dan nyawanya pun putus. Warga Kediri, Jawa Timur ini meninggal pada usia 55 tahun.

Masih pada bulan yang sama, kali ini peristiwanya terjadi di Pasuruan, Jawa Timur. Jainuri, kakek berusia 63 tahun, juga ditemukan meninggal di atas becaknya. Orang-orang yang melihat mengira Jainuri sedang tidur. Tak ada bekas kekerasan atau indikasi pembunuhan. Jainuri meninggal wajar. Mungkin karena sakit.

Kita akan menemukan sederet cerita serupa yang panjang kalau disebut satu-satu. Tapi tiga kasus di atas menandakan kemiskinan masih jadi problem berat di negeri ini. Kemiskinan yang memaksa orang-orang yang memasuki usia pensiun tetap harus bekerja berat, memaksa fisiknya yang sesungguhnya tak mampu lagi menahan kelelahan. Orang-orang itu seharusnya bisa menikmati masa tuanya dengan bahagia.

Yohanis, Suwarno, Jainuri dan banyak lagi yang lain, sebenarnya adalah para pahlawan yang gugur mempertahankan martabatnya sebagai manusia. Mereka bekerja keras, menahan lapar, demi menghidupi keluarga yang menjadi tanggungannya.

Lantas tengoklah sekeliling kita. Mereka yang berkesempatan mendapat akses kekuasaan, entah sebagai pejabat publik atau pemimpin partai, bisa begitu kaya, berhasil menumpuk harta, dalam waktu yang relatif singkat. Betapa kontras kehidupan mereka dengan kebanyakan rakyat kecil yang selalu diatasnamakan. Kalau harta dan kekayaan para pejabat dan politisi ini didapat dengan cara yang jujur dan bersih, kita angkat topi. Tapi sebaliknya jika seluruh kemewahan itu mereka dapatkan dari cara-cara kotor dan korup, atas nama Yohanis, Suwarno dan Jainuri, kita wajib mengutuknya.

Selamat tahun baru.


  • tukang becak
  • politisi
  • pejabat publik

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!