CERITA

Atlet Paralympic, Maria Goretti: Saya Sempat Tak Percaya Diri

Atlet Paralympic, Maria Goretti: Saya Sempat Tak Percaya Diri

KBR, Jakarta - Siang di GOR Velodrome di Rawamangun, Jakarta Timur.

Saya berkesempatan melihat latihan atlet difabel menghadapi Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) 2016.


Maria Goretti, seorang tuna daksa, menjadi satu-satunya atlet perempuan dalam tim balap kursi roda.


Di sana, Amik, begitu ia disapa, tengah berlatih. "Latihan seminggu dua kali, Selasa dan Jumat. Kalau di rumah barbel. Di rumah juga dibantu supaya otot nggak kaku. Kalau nggak kayak gitu sakit. Biasa gini kalau diam langsung sakit semua badan. Kalau sekali olah-raga ya kalau diam sakit badannya."


Berjalan di sampingnya menuju lokasi latihan, ia bercerita awal dirinya bergabung sebagai atlet paralympic DKI Jakarta. 


"Waktu jualan di Senayan kenal Pak Erwin, dia atlet kemudian kasih tahu ada olahraga, saya nggak percaya tapi saya diajak saat ada event tenis. Kebetulan saya juga senang olahraga dari kecil, juara lari. Terus saya dikenalkan dengan Pak Welly dan mungkin dia lihat semangat saya."


Amik juga bercerita, tak mudah membangun kepercayaan diri pasca kecelakaan yang merenggut kaki kirinya.


"Diamputasi sejak umur 14 tahun. Habis kecelakaan saya sempat frustasi. Pulang dari rumah sakit pikiran buruk ke orang-orang. Dua tahun kemudian saya baru bisa menerima. Terus di Susteran Carolus Cilacap, saya dididik."


Tapi dengan kursi roda, ia justru meraih medali emas saat Kejuaraan Nasional (Kejurnas) difabel di Kota Solo, tahun lalu.


Kepada saya, Amik menunjukkan cara kerja kursi roda warna kuning yang ia gunakan.


"Ini untuk belok. Kalau alat ada yang rusak, saya belum begitu tahu cuma kalau kendor dikit saya kencengin bautnya. Setang buat belok tapi karena biasa sekarang belok pakai tangan diimbangi. Tangan harus kuat. Kekuatan tangan."


Sampai di pinggir lapangan, Amik mempersiapkan jari-jari tangannya; membalut ruas-ruas jarinya dengan handyplast. Ini agar ia kuat mengayuh roda kusi. 

 

"Ini jarinya biar nggak sakit dan nggak lecet-lecet. Pakai perban antisipasi biar nggak sakit. Biasanya parah lecetnya ini sih sudah kapalan. Kalau tiap latihan pasti lecet sampai sini, jadi sekarang pakai sarung tangan."


Pelatih Amik, Iwan menjelaskan kelebihan masing-masing atlet.


"Seperti Ompong ini dia kakinya tidak bisa gerak sama sekali, yang baju merah si Pepeng dia masih bisa bergerak. Itu sudah membedakan tenaga. Sedangkan yang mengalami kecelakaan seperti Amik, tenaganya lebih besar karena biasanya normal," ungkap Iwan.


Soal Amik, ia punya catatan kecil; atlet paralympic yang memiliki karier cemerlang dan pesat.


"Dia baru bergabung enam bulan mencapai dua Emas dan Perak. Pepeng dan Baharudin dapat Perak dan Perunggu."


Di GOR Velodrom Rawamangun itu, para atlet paralympic yang berlatih saling memberi komentar soal teknik maupun kecepatan.


Begitu pula sang pelatih, Iwan. Ia optimistis latihan mereka hari ini akan membawa kesuksesan pada Papernas 2016 yang digelar di Bandung, Jawa Barat.





Editor: Quinawaty Pasaribu

 

  • Maria Goretti
  • Atlet Paralympic
  • GOR Velodrom Rawamangun
  • Toleransi
  • petatoleransi_06DKI Jakarta_biru

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!