CERITA

Kampung Pulo, Nurhayah: Saya Takutnya Enggak Bisa Bayar

Kampung Pulo, Nurhayah: Saya Takutnya Enggak Bisa Bayar

KBR, Jakarta - Sore, di antara reruntuhan rumah, beberapa ibu RW 02 Kampung Pulo berbincang resah.

Sejak rumah mereka ludes dihajar alat berat, mata pencaharian pun hilang. Salah satunya, Yayah.


“Saya jualan baju-baju muslim, remaja, jilbab, sudah 10 tahun barangkali. Pembeli saya kadang-kadang tetangga, teman, siapa saja yang datang ke rumah. Yang penting alhamdulillah bisa untuk makan,” ungkap Yayah pada KBR.


Namun, pasca penggusuran 20 Agustus lalu, usahanya porak-poranda.


“Sekarang masih ada sisa-sisa, saya buntel, tapi etalasenya tak tahu di mana. Tempat baju-baju dulu pakai etalase, digantung dan dipajang.”


Hingga sekarang, Yayah masih kebingungan memulai kembali usahanya.


“Enggak tahu, belum kebayang di mana buka usahanya juga saya enggak tahu. Kalau dulu masih muda, ada tabungan tapi sudah tua begini? Ya, daripada diam nganggur di rumah.”


Didin, bekas warga Kampung Pulo RW 03 yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang kaki lima ini malah sempat depresi.


“Saya sempat depresi, enggak keluar rumah empat hari, bengong saja. Apa saja dikerjakan, karena saya ini pedagang kaki lima. Istilahnya enggak dagang pun enggak apa-apa, dagang pun, harus berjalan terus. Makanya kalau biasanya saya di rumah enggak bayar sewa, sekarang ini harus bayar,” kata Didin.


Nurhayah, janda berusia 53 tahun ini, dirundung perasaan cemas, mampukah ia membayar uang sewa rusun?


“Setelah suami saya meninggal, dagang kecil-kecilan gado-gado, asinan, sambil jadi penjaga di sekolah. Enaknya di Kampung Pulo, saya enggak mikirin bayaran rumah, walaupun rombeng,” ucap Nurhayah.



Dipaksa Tinggal di Rusunawa


Lima ratusan keluarga Kampung Pulo kini tinggal di rumah susun sewa (rusunawa) di Jatinegara Barat, Jakarta Timur milik Pemprov DKI Jakarta.


Tapi, tinggal di rumah susun tak membuat hidup mereka lebih baik. Yayah kembali bercerita.


“Baru tadi saya ambil kunci, terpaksa itu juga karena bukan kami menyetujui. Sebetulnya saya enggak setujui, karena kebutuhan sudah tergusur, ya terpaksa. Sebetulnya saya masih bertahan, saya enggak mau pindah karena hati rasanya gimana gitu ya. Habis bukan tanah begini, saya biasa nginjek tanah. Mana bisa saya hidup kayak begini,” kisah Yayah.


Sementara Nurhayah, yang bekerja sebagai penjaga sekolah PAUD, kelimpungan karena tak akan sanggup membayar sewa rusun.


“Keluar ya enak sih naik lift, cuma saya mikirinnya gimana masa depannya aja. Saya takutnya enggak bisa bayar. Kan untuk bayar listrik, seperti air. Saya aja punya gaji cuma 150 ribu,” ujar Nurhayah. 


Sesuai aturan, warga yang tinggal di Rusunawa Jatinegara digratiskan selama tiga bulan. Setelah itu, warga harus membayar Rp300 ribu per bulan untuk Iuran ?Pengelolaan Lingkungan (IPL). Begitu pula dengan air dan listrik.


Ini jelas memberatkan warga Kampung Pulo yang sejatinya memiliki rumah dan tanah sendiri. Seperti yang dialami Didin.


“Kalau saya hidup mewah begini enggak cukup 40 ribu sehari. Kalau di sini, harus berpikir sehari 10 ribu uang mati nih untuk perawatan. Tiga bulan sekarang ini masih enjoy mungkin, tiga bulan ke sana harus berpikir. Belum, listrik, air, dan bla-bla-blanya ada lah. Itu harus berusaha satu bulan mungkin 600 ribu lebih,” sambung Didin.


Ia bahkan tak nyaman dengan lingkungan baru. Apalagi satu unit yang ditempatinya, terlalu sempit untuk menampung 4 keluarga sekaligus.


“Sudah sempit punya anak enggak bisa masuk. Kalau barang ini saya masukin, ya saya tidurnya di luar, karena luas rumah di sana (Kampung Pulo-red) agak lumayan juga. Di atas ada kamar, di bawah ada kamar anak-anak. Cucu pun kalau bermain bisa bebas.”


Warga Kampung Pulo tak punya pilihan lain, sebab Pemprov DKI Jakarta telah merampas hidup dan mata pencaharian mereka sekaligus.





Editor: Quinawaty Pasaribu 

  • Kampung Pulo
  • penggusuran
  • Jakarta
  • Gubernur Basuki Tjahaja Purnama
  • Ahok

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!