CERITA

Tenda Kerukunan Beragama di Serambi Madinah Gorontalo

Tenda Kerukunan Beragama di Serambi Madinah Gorontalo

KBR, Gorontalo - Di Gorontalo, suara adzan berkumandang dari segala penjuru. Maka tak aneh, jika Gorontalo lekat dengan sebutan Serambi Madinah. Apalagi, mayoritas penduduknya beragama Islam.

Meski begitu, toleransi antarumat beragama tetap dijunjung tinggi. Umat Muslim hidup berdampingan dengan Kristiani, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu.


Bukti nyata, ada di Kelurahan Tenda, Kecamatan Hulonthalangi.


Di sana, ada sembilan gereja dari berbagai kelompok, sepuluh masjid dan satu mushola. Salah satu gereja tertua di sana adalah Gereja Sentrum. Ketua Sinode Gereja Protestan Indonesia Gorontalo (GPIG), Pendeta Jemmy Bambung, bercerita.


“Kenapa diberi nama Sentrum? Sentrum itu artinya sentral atau pusat. Dari sini lah jemaat mula-mula lalu tersebar ke seluruh Gorontalo. Lain pindah Katholik, lain ke Pantekosta, lain ke Advent, yang pada akhirnya tanggal 18 Juli 1965 berdiri Gereja Protestan Indonesia di Gorontalo,” ucap Pendeta Jemmy.


Gereja tersebut menjadi salah satu peninggalan Belanda. Hal itu menurut tokoh masyarakat setempat, Muhammad Amien Umar, lantaran Kampung Tenda dulunya merupakan Kampung Belanda. Maka tak heran jika masih ada sisa-sisa bangunan bergaya Eropa.


“Sebelumnya untuk umat Kristen sudah ada gereja dulu, Gereja Immanuel itu yang tua, itu tipe gereja yang memang asli betul dari Eropa. Kampung di sekitar situ adalah tempat hunian masyarakat Belanda,” kata Muhammad Amien.


Banyaknya gereja di Kelurahan Tenda, juga dipengaruhi sikap warga setempat yang terbiasa dengan keragaman. Sehingga tak sulit mendapat izin pendirian gereja. Sekretaris Kelurahan Tenda, Nurdin Halada.


“Saya bilang kerukunan beragama cukup baik. Contohnya kalau ada kematian dari Kristen, Islam yang menangani,” sambung Nurdin Halada.


Selain gereja, ada pula Masjid Ar-Rayyan yang letaknya ada di selatan Gorontalo. Muhammad Amien Umar bercerita, masjid tertua ini awalnya berupa mushola yang kemunculannya ada sejak 1920-an di Sabua.


“Sabua itu daerah Taman Pekuburan Belanda dulu. Lalu dipindahkan ke sini berhubung ada perkembangan kebutuhan, karena masyarakat di sini sudah mulai berdatangan. Atas musyawarah para orangtua, hanya lokasinya yang ditempatkan di tempat yang lebih pas bisa dicapai oleh penduduk baik dari utara kemudian dari Selatan,” ungkap Muhammad Amien.


Salah satu warga setempat, Riefky Mulyono Lengkong, telah tiga generasi tinggal di Kelurahan Tenda. Rumahnya pun persis berhadapan dengan dua gereja. Sebagai umat muslim, ia mengaku tak terganggu dengan aktivitas para jemaat gereja.


“Mereka datang ke rumah minta izin untuk buat acara. Kalau ada hari-hari besar agama kita Islam mereka ke sini sama pendeta Ekklesia, Immanuel, ada paket mereka antar seputaran sini, minuman, bahan-bahan kue,” sambung Riefky Mulyono.



Toleransi Dipengaruhi Budaya


Sebagai tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama, Muhammad Amien malah menyebut, sikap toleransi antarumat beragama di Gorontalo dipengaruhi adat dan budaya setempat.


“Kekuatan adatnya itu sangat dihormati, semua warga menghormati, ada tata cara kesopanan dan sopan santun. Itu diikat oleh ketentuan-ketentuan adat yang sangat ketat dari zaman dulu,” ucapnya.


Hal senada juga disampaikan Ketua Sinode Gereja Protestan Indonesia Gorontalo, Pendeta Jemmy Bambung. Menurutnya Gorontalo memiliki falsafah yang kuat dalam bermasyarakat.


“Daerah Gorontalo itu dikenal sebagai daerah adat, sehingga kita punya falsafah dan selain adat Gorontalo punya suku Gorontalo. Di Gorontalo ini juga tetap bertumbuh adat dari masyarakat-masyarakat yang datang kemudian. Tinggal bagaimana masing-masing itu mau melihat sisi positif dari adat itu untuk mempersatukan,” kata Pendeta Jemmy.


Wujud toleransi di Gorontalo juga tampak di Vihara Buddha Dharma. Di sana, Gede Budi yang seorang Hindu bekerja sebagai penjaga di vihara.


"Kalau saya merasa nyaman kerja di sini, tidak ada tekanan. Saya tidak melihat adanya perbedaan. Memang sejak awal mereka tahu saya beragama Hindu, karena mereka mencari yang beragama Hindu. Sedangkan yang membuat dekorasi ini adalah orang-orang Bali yang beragama Hindu, mereka berasal dari pura itu," ungkapnya.


Klenteng Tri Dharma Tulus Harapan Kita menjadi satu-satunya pusat peribadatan jemaat Konghucu di Gorontalo, begitu pula dengan Vihara Buddha Dharma. Keduanya dibangun berdampingan, di Kelurahan Biawaoo yang berjarak 100 meter saja dari batas Kelurahan Tenda.





Editor: Quinawaty Pasaribu 

  • Toleransi
  • Kelurahan Tenda
  • Serambi Madinah
  • Kecamatan Hulonthalangi
  • petatoleransi_29Sulawesi Utara_biru

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!