CERITA

Simpul Dendam Para Pengungsi Rohingya dan Bangladesh

""Sesama pengungsi berkelahi. Kami saling pukul. Ada banyak masalah saat itu. Bahkan beberapa orang kabur loncat ke laut ketika berkelahi. Semuanya saling pukul dengan tongkat, mirip tiang listrik. ""

Muhammad Koyes dan Anis Miha (Kiri-kanan), pengungsi Bangladesh. (Foto: Rio Tuasikal)
Muhammad Koyes dan Anis Miha (Kiri-kanan), pengungsi Bangladesh. (Foto: Rio Tuasikal)

KBR, Langsa - Sepuluh hari sudah seribuan pengungsi Bangladesh dan Rohingya berada di penampungan Kuala Langsa, Aceh Timur. Tapi kedua belah pihak itu tak pernah bertegur sapa apalagi berbincang layaknya manusia senasib sepenanggungan.

Ada dendam yang tersimpan.

 

Benih dendam itu sudah dimulai sejak berada di atas kapal.


Pengungsi Bangladesh, Anis Miha, bercerita mereka saling berebut makanan.  

"Sesama pengungsi berkelahi. Kami saling pukul. Ada banyak masalah saat itu. Bahkan beberapa orang kabur loncat ke laut ketika berkelahi. Semuanya saling pukul dengan tongkat, mirip tiang listrik," kisah Anis.

Saat itu, makanan hanya cukup untuk satu minggu, sesuai lama perjalanan ke Malaysia yang dijanjikan penyelundup. Belum sampai Malaysia, nakhoda kabur dan mesin kapal rusak. Akhirnya, mereka terombang ambing dua bulan dengan sisa air 30 liter.


"Ada 900 orang di satu perahu. Ada 10 orang awak kapal orang Myanmar. Kapal punya air, pisang dan makanan. Tapi manajemennya buruk. Semua makanan dan air hanya diberikan pada orang Myanmar. Orang Bangladesh tidak dapat apa-apa, kelaparan. Saya ingat 1 minggu penuh tanpa makanan. Hanya sedikit air," katanya di lokasi pengungsian.


Sementara pengungsi Rohingya, Muhammad Amin, mengaku terpaksa mendahulukan perempuan dan anak-anak Rohingya. Ketimbang orang Bangladesh yang semuanya laki-laki dewasa.

 

"Orang dewasa bisa tahan dua sampai tiga hari, tapi anak-anak harus terus minum setiap jam. Orang Bangla tidak terima, mereka marah dan memukul kami. Saat kami cari, orang Bangla sudah ambil airnya. Mereka tak mau dengar," ucapnya.

 

Tapi, bagi pengungsi Bangladesh seperti Koyes, mengaku diperlakukan tidak adil.


"Satu hari tentara Indonesia memberi sedikit makanan dan air. Tapi hanya orang Rohingya yang memakannya. Orang Bangladesh tidak dapat. Kami hanya bisa melihat. Kami hanya bisa melihatnya," kisahnya.


"Bayangkan kami hanya meminum air laut selama 20 hari. Tanpa makanan dan air. Kondisinya sangat sulit. Situasinya sangat gila! Ya, itu sangat gila," sambung Koyes lagi.

 

Baku Hantam

Tak terima, kedua kubu lantas saling membunuh satu sama lain. Seperti yang diceritakan Amin.

 

"Kalau orang Myanmar lelaki kurang, perempuan banyak. Dia lelaki banyak. Satu pukul saya sudah lari. Mereka pukul semua, Bangla Bangla," kata Muhammad Amin.


Amin punya benjol besar di kepala, luka di rusuk dan punggung. 

Salah satu nelayan yang menyelamatkan mereka, Ibrahim, melihat luka di sekujur tubuh para pengungsi ini.

"Waktu di kapal ada yang berdarah, mereka orang Myanmar dibacok orang Bangladesh. Berarti orang Bangladesh tukang bacok. Orang Myanmar ini anak kecil dan perempuan," ucap Ibrahim.

Tapi korban bukan hanya orang Myanmar. Orang Bangladesh juga banyak yang tewas. Anis Milha bercerita.


"Saya punya dua teman yang mati. Kalau saya kembali ke Bangladesh, apa yang bisa saya bilang ke keluarga saya? Saya melihat orang Myanmar membawa stik hoki memukul kepala teman saya sampai mati. Saya melihatnya sendiri. Saya ingat seluruh badan teman saya berlumuran darah," ungkap Anis Milha.

 

Pengungsi Bangladesh menyebut 50 orangnya tewas. Sementara Rohingya menyebut 80 orangnya tewas. Jasad yang mati dibuang begitu saja ke laut.


Di pengungsian, pengungsi Rohingya dan Bangladesh tinggal di dua barak yang dipisahkan lapangan lebar. Kawat duri polisi disiagakan mencegah bentrok.

 

Bantuan lebih banyak masuk ke orang Rohingya. Mereka pun sholat di tenda, sementara orang Bangladesh sholat di lapangan terbuka.

 

Pengungsi Rohingya dan Banglaesh berharap bisa berdamai. Bagaimana pun, mereka satu iman dan pernah berjuang bersama.


"Saya tidak membenci orang Rohingya. Kami kan sesama muslim. Tapi situasinya saat itu sangat sulit," tutup Koyes.


Editor: Quinawaty Pasaribu

  • Rohingya
  • Bangladesh
  • Aceh Timur
  • Kuala Langsa
  • Myanmar
  • Toleransi
  • petatoleransi_01Nanggroe Aceh Darussalam_merah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!