CERITA

Rafiq: Menyerukan Damai di Radio Matahari (1)

Rafiq, eks kombatan Poso, pendiri Radio Matahari (Foto: KBR)

“Radio ini resmi didirikan pada 2006. Setelah sebelumnya kami capek selalu dirazia sebab radio kami illegal. Akhirnya saya daftarkan ke Kemenkumham maka berdirilah radio Matahari. Saya namai Matahari karena saya tertarik dengan filosopi matahari yang memberi terang tanpa pandang bulu.”

Itu penjelasan Rafiq Syamsuddin, pendiri radio Matahari Poso. 

Dia bekas kombatan  serangkaian konflik berbau suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) di Poso. Konflik yang berkecamuk sejak 1998 itu telah menewaskan 150 – 200 orang, serta  memicu ribuan warga mengungsi. Mahasiswa Universitas Sintuvu Maroso (Unismar), Poso itu kini jadi pemilik sekaligus penyiar radio.

Bersama Rafiq, ada Hendra Prasende yang menjadi manajer stasiun radio itu. Dia baru bergabung di Radio Matahari sejak 2012. Menurutnya, Radio Matahari tak melulu menjadi mesin pengepul rupiah, tapi justru menjadi radio penyeru damai pasca-konflik di Poso.

“Memang sih mas kalau berbicara di derah konflik itu kita harus menyajikan hiburan. Hiburan supaya masyarakat tidak mengingat konflik itu. Contohnya kita dialog mas, dengan Kementerian Agama. Programnya satu tahun, berjalan hingga saat ini. Kalau untuk segmen program saya rasa kita sudah berikan yang terbaik juga. Seperti program untuk kalangan anak muda yang tidak membedakan satu sama lain. Kalau yang sudah berlalu ya sudah lah ya.”

Hendra menambahkan, ada tiga program unggulan yang mengudara untuk menyejukkan masyarakat Poso. Diantaranya talkshow dengan Kementerian Agama, Temu LSM dan Coffe Break. Programa itu siar setiap minggu. Berbeda dengan saat sebelum konflik reda di Poso, semua program penyeru damai disiarkan di Radio Matahari saban hari.

Selain lewat talkshow, Radio Matahari juga berusaha membantu masyarakat Poso melupakan konflik lewat hiburan. Seperti memutar lagu khas daerah Poso. Hasilnya memuaskan, pendengar program hiburan terus meningkat. “Program itu ternyata banyak yang menggemari. Tidak hanya islam, Kristen, Hindu juga semua gabung. Itu pun penelpon bukan cuma dari Poso saja. Jadi sudah tahu kalau poso itu aman. Satu rasa lah kita,” jelas Hendra. 

Bahkan, radio yang didirikan oleh bekas kombatan konflik Poso ini juga menyediakan ruang diskusi di luar jam siaran.

Jika sederet program sudah siap, Hendra punya cara sendiri untuk merangkul kedua belah pihak yang bertikai. Yakni dengan memasukkan mereka ke tim penyiar. “Kita yang siaran di sini bukan dari islam saja. Kristen ada, pelajar ada, nenek-nenek juga ada. Karena kita pikir, untuk mempersatukan itu tidak cukup dari satu pihak saja.”

Salah satu penyiar di Radio Matahari bernawa Salwa. Gadis cilik kelas 6 SD itu tak terlihat canggung di ruang siar. Sudah setahun ini dia bersiaran di Radio Matahari. Mulai belajar menjadi Master of Ceremony atau MC, sampai bersiaran.

Penyiar lainnya, ada Itha masih duduk di bangku kuliah. Dia bergabung di Radio Matahari sejak tiga tahun silam. Sebelumnya Itha berpengalaman menjadi penyiar di radio AS. Dia mengaku senang bisa bersiaran di radio Matahari. Banyak pengalaman yang saya dapatkan di sini, bisa menambah wawasan, juga mengembangkan bakat. Saya biasa membawakan kabar sore dan acara masak,” ujar Itha saat ditemui KBR di ruang siar radio Matahari.

Radio Matahari kini mengudara di frekuensi 97.0 FM. Untuk memperluas jaringan pendengarnya, radio ini menyediakan layanan streaming lewat situsnya. Dari situ, seruan damai terus menerus disiarkan ke seluruh lapisan masyarakat Poso dan sekitarnya.

Baca lanjutan ceritanya: Rafiq: Menyerukan Damai di Radio Matahari (2)

Editor: Irvan Imamsyah

  • Kekerasan Poso
  • Konflik Poso
  • deradikalisasi
  • DRL

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!