CERITA

Menggugat ‘Jalan Bopeng’ di Bekasi

Menggugat ‘Jalan Bopeng’ di Bekasi

Kematian ayahnya itu yang kemudian membuat Maeda menggugat Pemkot Bekasi dan Pemprov Jawa Barat. Ia menagih tanggungjawab kedua pihak itu dengan menggandeng Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sebagai kuasa hukum.

“Saya lupa undang-undangnya. Yang jelas itu adalah tanggung jawab pemerintah untuk memperbaiki jalan. Jalan di situ tidak ada penerangan, tidak ada separator. Ngeri pokoknya. Karena selalu makan korban dan tidak pernah diperbaiki, akhirnya saya gugat. Saya gandeng LBH Jakarta. Saya minta Pemprov dan Pemkot memperbaiki jalan. Lalu mereka harus minta maaf kepada keluarga. Lalu mereka harus bayar ganti rugi Rp 800 juta.”

Pengacara Maeda, Nelson Simamora  menjelaskan dasar gugatan.

“Ya waktu itu dia datang kemari sambil nangis nangis. Mengapa kami mau bantu Maeda karena memamg ada landasan hukumnya. Berdasarkan UU lalulintas misalnya, disebutkan bahwa kecelakaan di jalan bisa disebabkan karena faktor pengemudi, kondisi kendaraan, dan kondisi jalan atau lingkungan. Nah di situ kan jelas ada faktor jalan,” papar Nelson. 

“Di pasal selanjutnya disebutkan, pemerintah harus segera memperbaiki jalan yang rusak. Bila belum dapat diperbaiki, maka harus ada rambu peringatan. Itu semua tidak ada di lokasi kejadian. Jadi sudah seharusnya pemerintah dalam hal imi Pemprov Jabar memperbaiki jalan yang rusak. Karena Jalan Siliwangi itu jalan provinsi.”

Gugatan diajukan pada 26 Februari lalu. Sebulan kemudian, tepatnya 23 Maret lalu, sidang perdana digelar di Pengadilan Negeri Kota Bekasi. Sial, sidang ditunda lantaran pihak tergugat, Pemprov Jawa Barat tak kunjung datang.

Menanggapi gugatan itu, Juru Bicara Pemprov Jawa Barat, Rudi Gandakusuma angkat bicara.

“Kami belum menerima surat panggilan. Kalau sudah ada tentu kami datang. Kami juga belum tahu kecelakaan itu terjadi di mana. Apakah di jalan kota atau jalan provinsi. Lagipula itu kan sudah setahun lalu. Kalau memang terjadi di jalan provinsi kami siap bertanggung jawab. Namum demikian Kami sudah siapkan tim hukum untuk menghadapi gugatan itu.”

Rudi juga mengklaim Pemprov Jawa Barat sudah menganggarkan dana perbaikan jalan. Hanya saja, terkendala proses tender yang tak kunjung rampung.

Tapi alasan belum menerima undangan itu, menurut Nelson hanya dalih menghindari panggilan sidang.

“Saya yakin mereka sudah terima surat panggilannya. Cuma mungkin mereka belum siap saja. Saya kira harusnya di sidang selanjutnya sudah siap ya.”

Apa yang dilakukan Sulastri Maeda Yoppy, menurut Nelson semestinya bisa diikuti orang lain. Sebab, kecelakaan terjadi bukan hanya karena faktor manusia, tapi juga kondisi jalan.

“Selama ini warga juga tidak sadar bahwa itu tanggungjawab pemerintah. Kebanyakan kalau celaka di jalan itu dianggapnya takdir. Padahal bukan. Setelah kematian ayah saya, saya perhatikan keadaan jalan. Akhirnya saya bisa menebak penyebab kematian ayah saya. Sepertinya ayah saya mau nyalip truk yang jalannya lambat. Pas di ujung jalan ada lubang dan dari arah berlawanan ada truk lain. Saya perhatikan kondisi jalannya memang begitu. Coba saja mas tanyakan sama warga,” kata Maeda. 

LBH Jakarta bahkan mencatat, jumlah kecelakaan di Bekasi sejak 1 Januari 2013 hingga Maret 2014 mencapai 688 kasus. Khusus di Jalan Siliwangi ada 78 kecelakaan lalu lintas.

Meski kejadian kelam itu sudah setahun berlalu, tapi Maeda, tak akan menyerah meski Pemprov Jawa Barat berusaha damai dengan memberikan santunan. Buat dia, tak perlu ada korban lainnya.

“Boleh saja damai selama semua tuntutan saya terpenuhi. Bukan soal uang santunan, tapi jalan itu juga harus diperbaiki. Karena warga lain bisa jadi korban. Selanjutnya pemprov harus tetap minta maaf. selama ini masyarakat kita kan suka main damai saja itu pun dengan sopir yang menabrak. Padahal ada masalah yang lebih penting.”

Editor: Antonius Eko 

 

  • jalan rusak
  • Bekasi
  • YLBHI

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!