NASIONAL

Putusan MK Soal SD-SMP Gratis, Harapan Baru untuk Akses Pendidikan Tanpa Diskriminasi?

"Kami masih menunggu respons dan juga sikap dari Presiden bagaimana supaya kebijakan ini bisa dieksekusi dengan orkestrasi yang berpihak pada perlindungan hak-hak atas Pendidikan," ujar Ubaid

AUTHOR / Naomi Lyandra, Siska Mutakin

EDITOR / Resky Novianto

Google News
sekolah
Ilustrasi - Para siswa SDN Gunung 01 Pagi, Kebayoran Baru, berkumpul di lapangan sekolah, Jakarta Selatan, Selasa (3/9/2024). ANTARA/Luthfia Miranda Putri

KBR, Jakarta- Mahkamah Konstitusi (MK) belum lama ini mengeluarkan putusan terkait pendidikan dasar di Indonesia.

Dalam keputusannya, MK menegaskan pendidikan dasar yaitu SD dan SMP harus diselenggarakan tanpa pungutan biaya alias gratis di sekolah negeri maupun swasta.

Putusan ini menjadi angin segar bagi jutaan anak Indonesia, khususnya dari keluarga tidak mampu yang selama ini kesulitan mengakses pendidikan karena keterbatasan biaya dan daya tampung sekolah negeri.

Putusan ini berawal dari permohonan pasal 34 Ayat (2) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI).

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, mengatakan pihaknya menerima banyak aduan masyarakat terkait dengan layanan pendidikan yang diskriminatif.

“Jadi sebelum permohonan ini kami ajukan ke MK, itu institusi kami JPPI menerima banyak aduan dari masyarakat terkait dengan layanan pendidikan dasar yang dirasa oleh masyarakat masih sangat diskriminatif,” ujar Ubaid dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (2/6/2025).

Ubaid menuturkan, banyak orang tua datang mengadu karena anak-anak mereka terpaksa putus sekolah dan bahkan ada yang dari kelas 3 SD tidak bisa melanjutkan ke kelas 4 SD, atau dari SD tidak bisa lanjut ke SMP.

Alasannya, lanjut Ubaid, karena tak mampu membayar uang pangkal, SPP, hingga biaya lainnya di sekolah swasta.

JPPI juga menilai, tafsir Pasal 34 Ayat (2) UU Sisdiknas yang selama ini berlaku sangat sempit yang seolah-olah "gratis" hanya berlaku bagi sekolah negeri. Padahal, kata Ubaid, dalam UUD 1945 tidak ada pembeda antara anak negeri dan anak swasta.

“Dan ternyata tafsir dari kementrian Pendidikan adalah Pendidikan dasar tanpa dipungut biaya itu adalah hanya di sekolah negeri. Karena kami dari masyarakat menilik pasal 34 ayat 2 lalu UUD pasal 31 ayat 2 itu ‘kok tidak ada frasa anak swasta anak negeri itu nggak ada’, yang ada itu anak Indonesia yang ada adalah warga negara Indonesia,” jelas Ubaid.

red
Siswa mengikuti pelajaran di SDN Grogol Selatan 08, Jakarta, Rabu (28/5/2025).ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin

Tantangan Implementasi yang Tidak Mudah

Ubaid juga menekankan bahwa tantangan terbesar setelah putusan MK adalah implementasi.

Ia mengatakan bahwa saat ini, anggaran pendidikan nasional sebesar Rp724 triliun tersebar di banyak kementerian dan lembaga. Padahal, Kementerian Pendidikan yang mengurusi pendidikan dasar hanya mengelola sebagian kecil dari total anggaran.

“Jadi kalau anggaran Pendidikan yang dikelola oleh kementerian saat ini, itu kan itungannya masih kececer kemana mana itu. Sehingga pendidikan dasar dan menengah ditanya soal putusan MK ini pasti bingung," jelas Ubaid.

"Karena mendikdasmen sendiri hanya berapa persen dari anggaran Pendidikan yang dia kelola, paling sekitar 5%. Nah untuk urusan madrasah paling sekitar 7%”, tambahnya.

Anggaran Pendidikan pada APBN 2025: Ada, Tapi Belum Terdanai Merata

Mengutip dari laman djpb.kemenkeu.go.id, anggaran Pendidikan di APBN 2025 tetap sebesar 20% dari total anggaran, mengalami peningkatan total anggaran Pendidikan yang semula Rp665,02 triliun (APBN 2024) menjadi Rp724,2 triliun (APBN 2025).

Dari total anggaran Pendidikan tersebut, porsi terbesar dialokasikan untuk Transfer ke Daerah sebesar 47,92% (Rp347,09 triliun) dari total anggaran Pendidikan. Disusul oleh anggaran Pendidikan Kementerian/Lembaga (K/L) lainya sebesar 14,42% (Rp104,47 triliun) dan Anggaran Kemenag sebesar 9,10% (Rp65,92 triliun).

Sementara itu, Kemendikdasmen memperoleh Rp33,55 triliun (4,63%), dan Kemendikti Ristek sebesar Rp57,68 triliun (7,96%).

Pemerintah juga menganggarkan Rp55 triliun (7,59%) untuk pembiayaan pendidikan, serta Rp25 triliun (3,45%) untuk Dana Abadi Pendidikan. Selain itu, terdapat pos anggaran pendidikan Non Kementerian/Lembaga (Non K/L) sebesar Rp35,55 triliun (4,91%).

Meskipun alokasi anggaran mengalami kenaikan, pemerintah mengakui masih terdapat prioritas Pendidikan yang belum terdanai secara memadai.

JPPI menyebut pemerintah selalu berdalih tidak punya cukup anggaran untuk membiayai sekolah tanpa dipungut biaya di negeri dan swasta. Padahal, pemerintah sebetulnya memiliki cukup bahkan berlebih anggaran untuk membiayai program wajib belajar 12 tahun tanpa pungutan biaya, baik di sekolah negeri maupun swasta.

Berdasarkan perhitungan JPPI 2023, hanya butuh tambahan dana sekitar Rp84 triliun, semua anak Indonesia bisa bersekolah tanpa dipungut biaya.

red
Ilustrasi Anggaran Pendidikan 2025. Foto: Instagram Ditjen Anggaran Kemenkeu


Negara Harus Ambil Alih Biaya Pendidikan

Hingga saat ini, Ubaid dari JPPI menyatakan pihaknya tengah menjalin komunikasi intensif dengan pemerintah dan DPR terkait kelanjutan implementasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Ubaid mengungkapkan saat ini Komisi X DPR sedang membahas revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), dan pihaknya telah mengajukan permohonan untuk menggelar rapat dengar pendapat guna memastikan substasi serta mandate putusan MK dapat dimasukkan dalam pasal-pasal revisi undang-undang tersebut.

“Selain dengan DPR, JPPI juga berkomunikasi dengan berbagai kementrian, seperti Kementerian Dalam Negeri terkait implementasi kebijakan di daerah, Kementerian Keuangan mengenai alokasi anggaran, Kementerian Agama dan kementerian Pendidikan mengenai pengelolaan madrasah dan Pendidikan umum, serta Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat yang menangani aspek kebijakan pembiayaan Pendidikan,” tutur Ubaid.

JPPI, lanjut Ubaid, menegaskan bahwa kebijakan ini penting untuk memastikan beban biaya pendidikan tidak lagi dibebankan kepada masyarakat, melainkan menjadi tanggung jawab negara.

"Jadi memang ini lintas sektor dan lintas kementerian dan sampai hari ini juga kami masih menunggu respons dan juga sikap dari Presiden bagaimana supaya kebijakan ini bisa dieksekusi dengan orkestrasi yang berpihak pada perlindungan hak-hak atas Pendidikan," imbuhnya.

Daya Tampung Sekolah yang Kurang

Berdasarkan data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukan daya tampung sekolah negeri masih jauh dari mencukupi untuk menampung seluruh peserta didik di tahun ajaran 2025, mulai dari jenjang Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas (SMA)

Ubaid menjelaskan di tingkat SD, sekolah negeri hanya mampu menampung 87,74% siswa, sementara 12,26% tidak tertampung. Sebaliknya, sekolah swasta menampung 81,91% kebutuhan daya tampung di wilayahnya, menunjukan peran signifikan sektor swasta dalam mengisi kekosongan.

“Kondisi parah terjadi di jenjang pendidikan menengah, di mana sekolah negeri hanya bisa mengakomodasi 54,67% siswa, menyisakan kekurangan 45,33%. Bahkan dengan gabungan sekolah negeri dan swasta, masih terdapat kesenjangan daya tamping,” kata Ubaid.

Di tingkat SMA, daya tampung sekolah negeri masih minim, hanya 39,69%, artinya 60,31% siswa tidak tertampung di sekolah negeri. Jika ditambahkan sekolah swasta, total daya tampung baru mencapai 83,46%, masih kurang 16,54%.

"Prinsipnya, daya tampung sekolah negeri itu jelas kurang. Jd pelibatan sekolah swasta adalah keniscayaan, jadi perlindungan hak anak atas pendidikan harus ada pembiayaan oleh pemerintah kepada sekolah swasta, supaya anak2 bisa sekolah tanpa menanggung biaya, sebagaimana diamanatkan UUD," ujar Ubaid.

Dengan kondisi daya tampung yang kurang, maka SPMB 2025 potensial terjadi karut-marut karena rebutan kursi sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.

JPPI, lanjut Ubaid, berharap agar putusan MK ini bisa dilaksanakan mulai tahun ajaran 2025 meskipun belum sempurna.

“Kalau bisa mulai 2025 walau belum 100 persen. Kami lihat di Jawa Tengah, Semarang misalnya, sudah mulai melibatkan ratusan sekolah swasta dalam penerimaan siswa baru (SPMB),” ujar Ubaid.

red
Orangtua siswa mengantarkan anaknya mendaftar sekolah di SMP 115, Jakarta. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja.

Dukungan dari Orang Tua Siswa

Salah satu orang tua siswa yang bersekolah di swasta, Jakarta Timur, Sri menyatakan dukungannya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan bahwa pendidikan dasar, yaitu SD dan SMP, harus diselenggarakan tanpa pungutan biaya baik di sekolah negeri maupun swasta.

Namun, ia mengungkapkan kekhawatiran bahwa guru-guru mungkin akan meremehkan siswa yang masuk melalui jalur gratis.

"Masalah pendidikan untuk swasta itu memang sangat apa ya mengkhawatirkan apalagi swasta sekarang minimal untuk SMP tuh paling sedikit Rp500 ribu per bulan sedangkan kita belum tentu untuk membayar uang sekolah tersebut, apalagi dicampur dengan LDKS dan lain-lain" katanya kepada KBR, Kamis (5/6/2025).

Sri berharap rencana ini dapat terealisasi oleh pemerintah DKI Jakarta agar masyarakat terbantu, terutama anak anak yang ingin sekolah tetapi kesulitan membayar biaya Pendidikan di sekolah swasta yang cenderung lebih mahal.

KPAI: Momentum Penguatan Amanat Konstitusi

Sementara Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono menyebut putusan MK ini sebagai bentuk penguatan amanat konstitusi.

“Pendidikan dasar pada anak ini merupakan kewajiban dan pemerintah harus hadir disitu tanpa harus ada diskriminasi negeri dan swasta. Karena pada prinsipnya regulasi yang menyangkut Pendidikan dasar bermutu dan gratis atau dibiayai pemerintah itu sudah tertuang dalam konstitusi kita hanya saja pada implementasinya masih banyak catatan-catatan,” ungkap Aris.

Data KPAI juga menyebutkan, saat ini ada sekitar 3,5 juta anak Indonesia yang tidak bersekolah, dan sebagian besar di jenjang SD dan SMP. Salah satu penyebab utamanya adalah faktor ekonomi.

“Ada 3,5 juta data terakhir beberapa minggu lalu kami konsolidasi dengan Mendikdasmen dan angka yang banyaknya ya salah satunya di tingkat SD dan tingkat SMP”, ungkap Aris.

red
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aris Adi Leksono. ANTARA/Ni Luh Rhismawati


Aris bilang bahwa selama ini, bantuan pendidikan seperti BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dipahami sebagai bentuk kemurahan hati negara. Padahal, seharusnya pendidikan dasar adalah hak warga negara yang wajib dipenuhi oleh pemerintah.

“Karena paradigmanya di negeri menurut sebagian masyarakat kita lebih unggul. Ini kemudian perlu pemetaan tadi. Sehingga dengan upaya pemetaan tadi, langkah intervensi tadi, itu kemudian dengan sendirinya mengubah paradigma masyarakat, bahwa Pendidikan ini sama antara negeri, swasta dan seterusnya,” tegas Aris.

Kerja sama Lintas Kementerian Patut Dinanti

Aris menambahkan bahwa keberhasilan kebijakan ini butuh kerja sama lintas kementerian, terutama Kemendikbud, Kemenkeu, Kemendagri, hingga Kemenpan-RB. Pemerintah daerah, kata dia, juga harus dikonsolidasikan agar memiliki peta mutu dan akses pendidikan dasar yang merata.

“Kita perlu peta yang jelas: akses, mutu, dan sarana prasarana sekolah swasta. Lalu disesuaikan dengan skema pembiayaan yang adil. Kalau perlu intervensi sarana prasarana di swasta, ya harus masuk prioritas,” ujar Aris.

Selain itu, harus ada pengawasan ketat agar putusan ini tidak dimanipulasi dengan pungli atau jual beli bangku.

“Kalau kemudian nanti Pendidikan dasar ini gratis, dan swasta diberdayakan, ada kolaborasi antara negri dan swasta dan ada jaminan pembiayaan, tentu akan meminimalisir praktek praktek pungli,” jelas Aris.

Kemendikdasmen: Putusan MK Berpeluang Dilakukan Tahun Ajaran 2026

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen) Atip Latipulhayat mengungkapkan pembebasan biaya pendidikan seperti yang diamanatkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) kemungkinan dilakukan pada tahun ajaran mendatang (2026), bukan tahun ini.

"Kalaupun dilaksanakan, saya kira cukup berat jika diterapkan tahun ini, karena tahun anggaran sudah berjalan setengah jalan," kata Atip di Kampus UPI Bandung, Senin (9/6/2025) dikutip dari ANTARA.

red
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen) Atip Latipulhayat memberikan keterangan di Kampus UPI Bandung, Senin (9/6/2025). ANTARA/Ricky Prayoga.

Putusan MK yang membebaskan biaya pendidikan baik sekolah negeri maupun swasta bukan sekadar soal menggratiskan tanpa mempertimbangkan aspek pembiayaan, mengingat semuanya sangat terkait dengan fokus anggaran yang dilakukan.

"Saat ini kami sedang berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk melihat kemungkinan pengalokasian anggaran. Intinya memang tergantung pada anggaran," ucap dia.

Atip juga mengatakan hingga saat ini peraturan teknis atau petunjuk teknis dalam menjalankan kebijakan tersebut, belum ada.

Menkeu Pelajari Putusan MK

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut kementeriannya mempelajari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pendidikan gratis yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah negeri maupun swasta.

Sri Mulyani melanjutkan kementeriannya juga akan menggelar rapat khusus untuk membahas putusan MK itu, termasuk dampaknya terhadap anggaran.

“Kita mempelajari keputusan tersebut. Pak Mendikdasmen (Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah) sudah membuat rapat, saya juga menyiapkan,” kata Sri Mulyani saat ditemui di Istana Kepresidenan RI, Jakarta, Senin (2/6/2025), dikutip dari ANTARA.

“Kami bersama Menteri Pendidikan Dasmen (Dasar dan Menengah, red.) bersama Mensesneg akan mempelajari keputusan dari MK tersebut, dan dampaknya seperti apa untuk (anggaran, red.),” imbuhnya.

Revisi UU Sisdiknas Bakal Menjawab Putusan MK

Anggota Komisi X DPR RI Sabam Sinaga mengatakan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) akan mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pendidikan dasar gratis oleh sekolah negeri dan swasta.

"Pasti harus diakomodasi karena itu kan keputusannya mengikat dan final," kata Sabam usai menghadiri diskusi Forum Legislasi bertajuk "RUU Sisdiknas untuk Sistem Pendidikan yang Eksklusif dan Berkeadilan" di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/6/3035), dikutip dari ANTARA.

red
Anggota Komisi X DPR RI Sabam Sinaga di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/5/2025). ANTARA/Melalusa Susthira K.

Sabam mengatakan agar negara dapat menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pendidikan dasar gratis maka DPR akan mereformulasi alokasi anggaran atau dana pendidikan.

"Jadi, pasti nanti akan ada reformulasi, ya. Pasti ada reformulasi karena bagaimanapun keputusan MK tersebut adalah final dan mengikat. Maka mau tidak mau, perlu akan reformulasi kembali," ucapnya.

Ia juga mengatakan bukan sesuatu yang muskil putusan MK tersebut dapat diimplementasikan mulai tahun ini.

"Semua hal bisa dimungkinkan. Semua hal bisa dimungkinkan. Saya pikir semua hal bisa dimungkinkan," tuturnya dengan optimistis.

Menurutnya, hal itu dapat dilakukan dengan menyiasatinya melalui sejumlah instrumen untuk mengakomodasi putusan MK tersebut.

"Saya yakin pasti ada instrumen-instrumennya untuk menyiasati ataupun mengakomodasi keputusan-keputusan tersebut karena ini demi NKRI supaya Indonesia lebih maju, supaya Indonesia bisa menuju Indonesia Emas," ujarnya.

Dalam diskusi itu, Sabam mengemukakan putusan MK mengenai pendidikan dasar gratis menjadi momentum perbaikan revisi UU Sisdiknas yang baru saja mulai bergulir di parlemen.

"Putusan MK terkait dengan penggratisan sekolah swasta ini menjadi menarik bagi kita dan saya pikir ini menjadi satu berkah," paparnya.

Menyikapi putusan MK tersebut, Sabam mengatakan DPR akan melakukan kajian-kajian dan pendalaman dalam penyusunan revisi UU Sisdiknas, khususnya terkait proses pembiayaan pendidikan dasar gratis.

"Harus dilakukan rekonstruksi terhadap pembiayaan karena kita lihat dalam ketentuan Undang-Undang Sisdiknas, sesungguhnya ada mandatory spending yang harus dikeluarkan oleh pemerintah 20 persen biaya, 20 persen dari anggaran itu harus dialokasikan untuk pendidikan," katanya.

Kilas Balik Putusan MK Soal Pendidikan Gratis SD-SMP

Sebelumnya, MK memutuskan bahwa negara, dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah, harus menggratiskan pendidikan dasar yang diselenggarakan pada satuan pendidikan SD, SMP, dan madrasah atau sederajat, baik di sekolah negeri maupun swasta.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 di MK RI, Jakarta, Selasa (27/5/2025).

red
Para Pemohon Prinsipal bersama kuasa hukum berfoto bersama usai sidang Putusan uji Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Selasa (27/05) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

MK menyatakan frasa "wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya" dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah menimbulkan multitafsir dan perlakuan diskriminatif sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.

Dijelaskan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih bahwa frasa "wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya" yang penerapannya hanya berlaku bagi sekolah negeri dapat menimbulkan kesenjangan akses pendidikan dasar bagi siswa yang bersekolah di sekolah swasta.

Terlebih, dalam kondisi tertentu, terdapat peserta didik yang terpaksa bersekolah di sekolah swasta akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri.

Dalam kondisi demikian, menurut MK, negara tetap memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan tidak ada peserta didik yang terhambat memperoleh pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi dan keterbatasan sarana pendidikan dasar.

Putusan MK itu menjawab permohonan uji materi yang diajukan oleh lembaga masyarakat sipil Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) beserta tiga orang ibu rumah tangga, yakni Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.

Baca juga:

Mengapa Putusan Terbaru MK soal UU ITE Dianggap Kemenangan Parsial?


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!